REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Krisis Myanmar menjadi perhatian utama dalam ASEAN Foreign Ministers Meeting (Retret Session). Upaya menciptakan dialog di internal Myanmar menjadi salah topik yang dibahas.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi mengungkapkan, saat memimpin sesi Retreat, dia memaparkan tentang apa yang sudah dilakukan Indonesia selama keketuaannya di ASEAN untuk menangani krisis Myanmar. “Saya sampaikan keterlibatan intensif dan ekstensif yang sudah dilakukan Indonesia selaku ketua, bahwa selama tujuh bulan ini kita sudah melakukan lebih dari 110 engagements. Ini bukan angka yang kecil. Ini membutuhkan upaya yang sangat besar,” ucapnya seusai sesi Retreat yang digelar di Hotel Shangri-la, Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Retno mengungkapkan, keterlibatan yang dilakukan Indonesia dengan berbagai pihak dan pemangku kepentingan di Myanmar sejalan dengan mandat Lima Poin Konsensus (Five Points of Consensus). Dia menambahkan, tujuan engagements adalah membangun kepercayaan dan mempertemukan para pihak yang tidak pernah bertemu di Myanmar. Namun Menlu menekankan, keterlibatan bukanlah tujuan.
Dari serangkaian keterlibatan yang dilakukan Indonesia, diperoleh posisi masing-masing pihak di Myanmar. Bagian-bagian yang bisa dijembatani pun mulai dipetakan. “Dari engagements tersebut, saat ini paling tidak mulai dipikirkan adanya dialog. Jadi isu dialog juga dibahas dalam pertemuan (Retreat),” ungkap Retno.
Retno berpendapat keterlibatan telah menjadi modal dasar atau building block pertama. “Semua (negara anggota ASEAN) mendukung pentingnya mulai dipikirkan dialog sebagai next building block. Karena kami yakin hanya dengan dialog inklusif akan dapat diperoleh penyelesaian politik. Dan penyelesaian politik akan dapat menciptakan situasi damai yang durable,” ucap Menlu.
Menlu menambahkan, ASEAN masih sangat prihatin dan mengecam masih tingginya tindakan kekerasan di Myanmar. ASEAN mendesak semua pihak menyetop tindakan kekerasan. “Terutama yang mengakibatkan korban sipil, pemboman fasilitas umum, termasuk sekolah dan rumah sakit. Tanpa pengakhiran kekerasan, tidak mungkin tercipta kondisi kondusif yang diperlukan bagi dimulainya dialog dan sangat diperlukan bagi penyaluran bantuan kemanusiaan,” kata Retno.
Krisis di Myanmar pecah setelah militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil di sana pada Februari 2021. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD). NLD adalah partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi.
Setelah kudeta, hampir seluruh wilayah di Myanmar diguncang gelombang demonstrasi. Massa menentang kudeta dan menyerukan agar para pemimpin sipil yang ditangkap dibebaskan. Namun militer Myanmar merespons aksi tersebut secara represif dan brutal.
Dalam laporannya yang diterbitkan pada Juni 2023 lalu, Peace Research Institute Oslo mengungkapkan, sejak kudeta pada Februari 2021, lebih dari 6.000 orang terbunuh di Myanmar. Sementara itu PBB menyebut, setidaknya 1,2 juta orang juga telah terlantar atau kehilangan tempat tinggal akibat pertempuran pasca-kudeta.