REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengaku kecewa dengan forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) mengenai PPDB antara Komisi X DPR RI dan Kemendikbudristek yang berlangsung pada Rabu (12/7/2023). Salah satu kekecewaan yang JPPI rasakan adalah karena Komisi X DPR RI gagal membahas dan mengidentifikasi masalah utama dalam sengkarut PPDB 2023.
“RDP terkuras untuk mendiskusikan hal-hal yang remeh-temeh terkait kesalahan teknis dan urusan lokal yang bersifat malaadministrasi. Ini masalah klasik yang akan terus terjadi jika sumber utama tidak dibenahi,” ujar Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji, kepada Republika, Kamis (13/7/2023).
Ubaid mengatakan, masalah utama PPDB 2023 adalah bagaimana pemerintah mampu membuat sistem PPDB yang berkeadilan bagi semua, bukan "sistem seleksi" yang pasti akan menggugurkan mayoritas calon peserta didik yang mendaftar di sekolah negeri. Itu terjadi, kata Ubaid, karena daya tampung dari seleksi itu yang sangat minimalis.
Pihaknya juga kecewa karena Kemendikbudristek terkesan "cuci tangan" dan mengarahkan tudingan kisruh PPDB 2023 kepada pemerintah daerah (pemda). Konsistensi tudingan itu sebelumnya juga dilakukan oleh Inspektur Jenderal Kemendikbudristek, Chatarina Muliana Girsang. Jika tudingan ini dialamatkan kepada pemda, maka Kemendikbudristek jelas cuci tangan.
“Padahal, menurut kami, pangkal masalah ini bersifat sistemik dan letaknya ada di pemerintah pusat, Kemendikbudristek, bukan di level pemda,” terang Ubaid.
Dia menjelaskan, ada sejumlah titik kesalahan sistemik yang menyebabkan ricuh PPDB di daerah yang secara jelas dipicu oleh kebijakan di level pusat. Salah satu sumber kegaduhan PPDB adalah Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021. Beleid itu dijadikan acuan di daerah dan ditafsirkan secara beragam oleh pemda-pemda.
“Dampaknya, sistem PPDB menuai protes di berbagai tempat dengan ragam kegaduhan yang berbeda-beda. Misalnya, protes karena seleksi berdasarkan usia, ketidakjelasan parameter jalur prestasi, dan juga banyak ditemukan manipulasi di jalur zonasi dan afirmasi,” kata dia,
Jadi, jelas Ubaid, regulasi itu melahirkan peraturan turunan di daerah-daerah, yang satu sama lain saling bertabrakan. Itu membuat masyarakat menjadi bingung, lalu terjadilah gaduh. Jika hanya ada satu atau dua daerah yang gaduh, maka bisa jadi daerah tersebut yang salah tafsir. Tetapi, ketika ricuh itu terjadi di banyak daerah, berarti acuan Permendikbud-nya yang bermasalah.