REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Tingginya angka pengguna internet di Indonesia sebanyak 191 juta, dengan 69 persen yang merupakan pengguna media sosial aktif akan mendorong potensi ekonomi digital Indonesia. Diperkirakan potensi ekonomi digital Indonesia akan mencapai sebanyak 146 miliar dolar AS di tahun 2025.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Pengawasan Financial Technology dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tris Yulianta dalam Digitalk dengan tema "Strategi Cerdas Berinvestasi: Memahami Risiko dan Peluang Bisnis dalam Peer-to-Peer Lending di Indonesia", Kamis (13/7/23).
Acara ini diselenggarakan oleh Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada (UGM) menggandeng Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Fintech ALAMI Sharia (ALAMI).
Gelaran ke-57 ini diselenggarakan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL) membahas secara komprehensif terkait perkembangan Fintech khususnya peer-to-peer lending yang semakin diminati masyarakat dan mendesaknya proses edukasi bagi masyarakat sehingga dapat terhindar dari risiko-risikonya.
Menurut Tris, fintech P2P Lending yang termasuk ekonomi digital, juga mendapatkan sambutan yang positif dari masyarakat. Ini karena P2P Lending hadir untuk masyarakat yang unbankable.
"Munculnya P2P untuk masyarakat banyak dirasakan oleh UMKM, yang bisa menjadi alternatif pengganti pinjaman bank konvensional. Tantangan yang muncul di sini, dari OJK selalu mengupayakan pengawasan dan coba benahi, dengan tentunya dukungan peningkatan literasi masyarakat," ujar Tris.
Gambaran lanskap model bisnis financial technology (fintech) di Indonesia, dipaparkan oleh Dosen Manajemen FEB UGM Kusdhianto Setiawan, Siviløkonom., Ph.D, yang menjelaskan bagaimana model bisnis peer-to-peer (P2P) lending mulai tumbuh dan diminati oleh masyarakat Indonesia. Meski ditujukan untuk masyarakat unbankable, kata dia, sasaran fintek adalah masyarakat yang melek digital.
"P2P menjadi solusi bagi mereka yang unbankable, namun bukan solusi yang murah. Perlu diketahui berapa jumlah biaya yang akan ditanggung kepada pengguna," ujar Kusdhianto.
Mengenai maraknya pinjol ilegal dan kekhawatiran mengenai perlindungan konsumen, menurutnya cara yang paling ampuh adalah mencerdaskan konsumen.
"Kalau mengandalkan pengawasan yang regulasinya lebih lambat dari industri akan lebih sulit," katanya.
Di sisi lain, Pengawas Direktorat Pengawasan Financial Technology OJK Annisa Ika Rahmawati menyampaikan, OJK menekankan perlunya pengawasan dan regulasi terkait aktivitas fintech di Indonesia untuk menjamin keadilan dan perlindungan bagi masyarakat.
"Peran OJK sebagai regulator sangatlah diperlukan untuk dapat menghindarkan masyarakat dari segala bentuk potensi kejahatan dan kerugian saat bertransaksi maupun berinvestasi melalui platform P2P Lending," ujar Annisa.
Direktur Utama ALAMI Sharia, Harza Sandityo mengatakan bahwa sebagai pelaku industri, peran kolaborasi dan ketatnya pengawasan oleh OJK menjadi salah satu elemen penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat dalam melakukan transaksi di berbagai Fintech. Hal ini turut memberikan keyakinan bagi masyarakat sehingga lebih tenang untuk berinvestasi melalui P2P lending.
Faktor berikutnya yaitu transparansi dalam menyampaikan informasi kepada pengguna, serta kinerja operasional yang kuat meskipun dihadapkan pada tantangan ekonomi makro.
"Dukungan kuat terhadap prinsip syariah dalam setiap aspek bisnisnya juga mendorong masyarakat untuk berpartisipasi sebagai pendana di ALAMI," kata Harza.