REPUBLIKA.CO.ID, KIEV – Ukraina telah kehilangan sekitar 20 persen senjata dan peralatan militernya sejak melakukan serangan balik ke Rusia. Demikian diungkapkan New York Times yang mengutip sejumlah pejabat Amerika Serikat (AS).
‘’Pada dua pekan pertama Ukraina melakukan serangan baik, sebanyak 20 persen senjata yang dikirimkan ke medan perang rusak atau hancur,’’ demikian laporan New York Times yang mengutip pejabat AS dan Eropa seperti dilansir Al Arabiya, Senin (17/7/2023).
Ini termasuk senjata berat dan peralatan perang yang dikirim negara-negara sekutu Barat seperti tank dan kendaraan pengangkut personel tentara Ukraina. Para pejabat itu menyatakan, tingkat kehilangan turun sekitar 10 persen dalam pekan-pekan menentukan.
Di mana, pasukan Ukraina memperoleh tambahan personel serta mesin perang yang diperlukan untuk melakukan serangan lebih besar lagi ke Rusia. Ada taktik yang diubah dalam menghadapi kehilangan 20 persen senjata dan peralatan perang ini sejak serangan balik pada Juni lalu.
Yakni, mereka lebih menekankan untuk menggunakan artileri dan rudal jarak jauh, untuk menjatuhkan pasukan Rusia daripada melakukan kontak senjata langsung atau melewati lahan-lahan ranjau pihak musuh.
Bagaimanapun, di tengah perkembangan positif tersebut, ada kenyataan yang harus dipertimbangkan. Serangan balik ke Rusia menghadapi sejumlah tantangan. Di antaranya, pasukan Ukraina harus melewati pertahanan kokoh yang membuat laju mereka lambat.
Bahkan di sejumlah wilayah gerak pasukan Ukraina terhenti. Selain kehilangan senjata 20 persen, mereka hanya mampu bergerak 60 mil untuk mencapai wilayah selatan. Di sisi lain, Rusia mempersiapkan diri dengan baik.
Di garis depan, mereka membangun hambatan gerak pasukan Ukraina dengan ranjau, tank, dan pasukan. Tak hanya itu, serangan pesawat nirawak atau drone dan helikopter terus meningkat dan menguntungkan bagi pasukan Rusia.
Para pakar mengungkapkan, kehilangan yang dialami Ukraina pada fase awal serangan balik merupakan hal wajar. Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengakui serangan balik ini memang berjalan lamban dan pekan-pekan terakhir ini.
Ini disebabkan kurangnya peralatan perang dan amunisi serta belum datangnya paket senjata yang dijanjikan negara sekutu.’’Sekrang kecepatan untuk mengakhiri perang bergantung dukungan global pada Ukraina,’’ katanya.
Pekan lalu Direktur Operasi Kepala Staf Gabungan Letjen Douglas A Sims II menyatakan, jika melihat dari sisi Ukraina mereka akan mampu bergerak jika telah menyiapkan diri. Maka perangkat perang memang menjadi kebutuhan mendesak.