REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Para pendukung dan loyalis Pita Limjaroenrat, pemimpin partai pemenang pemilu Thailand, Move Forward, akan membiarkan mitra aliansinya, Pheu Thai, partai besutan mantan PM Thaksin Shinawatra untuk memimpin pembentukan pemerintahan baru. Pengalihan dukungan ini setelah Pita sebagai calon perdana menteri dari Move Forward, telah gagal mendapatkan dukungan parlemen.
Kabar tersebut disampaikan Sekretaris Jendral partai Move Forward, Chaithawat Tulathon. "Kami akan mendukung kandidat manapun yang akan diajukan oleh Pheu Thai untuk menjadi perdana menteri dalam pemungutan suara di parlemen yang dijadwalkan pada 27 Juli," kata Tulathon dalam sebuah konferensi pers pada Jumat (21/7/2023).
Sebelumnya, aliansi delapan partai ini telah mendukung pemimpin Move Forward, tokoh reformis yang berusia 42 tahun, Pita Limjaroenrat, untuk menjadi perdana menteri. Dalam perjalanannya, ia gagal mendapatkan dukungan dari parlemen bikameral pada pemilihan perdana menteri di 13 Juli 2023 lalu.
Kemudian pada pencalonan dirinya yang kedua, enam hari kemudian, Pita justru diblokir oleh kelompok Konservatif dari para anggota parlemen Thailand. Akibatnya, posisi Pita justru terpental sebagai anggota parlemen.
Move Forward dan Pheu Thai masing-masing memiliki 151 dan 141 kursi di majelis rendah yang beranggotakan 500 orang. Sementara, aliansi ini membutuhkan dukungan lebih dari setengah jumlah anggota majelis, termasuk Senat majelis tinggi yang ditunjuk oleh militer telah memblokir pencalonan Pita, sosok politisi muda yang pro dengan LGBT di Thailand ini.
Partai liberal Move Forward memenangkan pemilu bulan Mei 2023 lalu, dengan mengalahkan lawan-lawan politik kubu konservatif di Thailand. Kekuatan aliansi ini adalah dukungan rakyat perkotaan di Thailand yang sudah lelah di bawah pemerintahan junta militer Thailand yang telah berkuasa lebih dari sembilan tahun.
Kebijakan-kebijakan progresif aliansi yang dipimpin Pita ini seperti mengakhiri monopoli bisnis kelompok militer, tapi justru dapat mengubah nasib monarki Thailand dengan perubahan undang-undang atas penghinaan atas keluarga kerajaan. Aturan yang kontroversial ini dikawal ketat oleh pihak militer dan elit-elit kerajaan yang tetap menjaga nilai konservatif di Thailand.