Jumat 21 Jul 2023 20:03 WIB
...

Guru Besar Unkris Prof Gayus Lumbuun Usulkan Tambahan Wewenang dalam RUU MPR

Penguatan MPR RI bisa diwujudkan dalam penguatan wewenang.

Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Gayus Lumbuun (tiga dari kiri) dalam Rapat Pleno Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI terkait Rekomendasi Naskah Akademik dan RUU MPR, Kamis (20/7/2023).
Foto: unkris.
Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Gayus Lumbuun (tiga dari kiri) dalam Rapat Pleno Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI terkait Rekomendasi Naskah Akademik dan RUU MPR, Kamis (20/7/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar yang juga Ketua Senat Akademik Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof Gayus Lumbuun menyatakan penyusunan naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) MPR harus mempertimbangkan argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis. Tiga argumentasi tersebut penting untuk memastikan bahwa RUU MPR nantinya dapat mengembalikan wewenang, tugas, dan fungsi MPR RI berjalan sebagaimana mestinya.

“Hal penting dalam suatu Naskah Akademik RUU adalah adalah argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis perubahan atau pembentukan undang-undang,” kata Prof Gayus dalam Rapat Pleno Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI terkait Rekomendasi Naskah Akademik dan RUU MPR yang digelar Kamis (20/7/2023).

Baca Juga

Secara filosofis, lanjut Prof Gayus, pembentukan UU tentang MPR merupakan upaya untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Pelaksanaan kedaulatan rakyat ini dilakukan melalui suatu lembaga permusyawaratan rakyat yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi permusyawaratan yang sesuai dengan tujuan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.

Keberadaan MPR sebagai lembaga permusyawaratan rakyat, kata Prof Gayus, tidak dapat dilepaskan dari dasar filosofis mengenai kedaulatan. Dasar filosofis ini dapat dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan UUD NRI 1945. “Dalam Pancasila filosofi kedaulatan terdapat pada sila keempat Pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,” cetusnya.

Lalu secara sosiologis, lanjut Prof Gayus, pembentukan UU MPR dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan dalam kehidupan ketatanegaraa sehingga MPR mampu menjalankan wewenang dan tugasnya secara efektif, transparan, optimal, dan aspiratif.

Menurut Prof Gayus, kedudukan dan wewenang MPR sangatlah penting dan strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia karena merupakan salah satu lembaga negara yang memiliki peran sangat besar dan menentukan arah kehidupan ketatanegaraan dan kelangsungan bangsa. Kehadiran MPR dituntut mampu untuk menjawab segala tantangan, perkembangan, dan kebutuhan hukum dalam menjawab segala permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Terlebih pasca-perubahan UUD 1945, di mana MPR tidak lagi merupakan lembaga tertinggi negara, tetapi menjadi salah satu lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945,” kata Hakim Agung Mahkamah Agung periode 2011-2018 tersebut.

Kemudian landasan yuridis, Prof Gayus memandang bahwa MPR, DPR, dan DPD merupakan kelembagaan yang memiliki perbedaan karakteristik sehingga sebaiknya masing-masing diatur secara tersendiri. Pengaturan yang secara tersendiri ini diperlukan untuk memperkuat kedudukan, fungsi, dan wewenang masing-masing lembaga.

“Sebagai peraturan dasar, pengaturan terkait MPR dalam UUD 1945 hanya berisikan penjabaran wewenang dan beberapa ketentuan pokok saja. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang yang dapat lebih memerinci aturan-aturan pokok dalam UUD 1945,” tegas Prof Gayus.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement