REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Juru bicara Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) mengkritik keputusan Prancis melarang anak perempuan mengenakan abaya di sekolah. Akhir pekan lalu Menteri Pendidikan Perancis Gabriel Attal mengatakan mengenakan abaya tidak lagi diperbolehkan di sekolah.
Juru bicara OHCHR Marta Hurtado mengatakan meskipun OHCR tidak dalam posisi untuk memberikan komentar secara rinci. Mengingat, katanya, Prancis belum memberikan informasi mengenai keputusan dan rencana penerapan larangan itu.
“Perlu diingat menurut standar hak asasi manusia internasional, pembatasan terhadap manifestasi agama atau kepercayaan, termasuk pilihan pakaian, hanya diperbolehkan dalam keadaan yang sangat terbatas, termasuk keselamatan masyarakat, ketertiban umum, dan kesehatan atau moral masyarakat,” kata Hurtado seperti dikutip Middle East Monitor, Kamis (31/8/2023).
“Selain itu, berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional, tindakan yang diambil atas nama ketertiban umum harus tepat, perlu, dan proporsional,” tambahnya.
Hurtado mengatakan untuk mencapai kesetaraan gender diperlukan pemahaman tentang hambatan yang menghalangi perempuan dan anak perempuan untuk membuat pilihan bebas, dan menciptakan lingkungan yang mendukung pengambilan keputusan mereka sendiri. Termasuk memilih pakaiannya sendiri.
Pekan lalu, Kementerian Pendidikan Prancis menerbitkan laporan mengenai dugaan meningkatnya pelanggaran sekularisme di sekolah.
Laporan tersebut mengatakan pelanggaran sekularisme telah meningkat sebesar 150 persen dalam beberapa tahun terakhir dengan siswa laki-laki dan perempuan mengenakan pakaian yang mirip dengan abaya dan tunik, yang menurut kementerian bertentangan dengan undang-undang sekularisme yang disahkan pada tahun 2004 yang melarang simbol-simbol agama di sekolah.
Prancis menganggap abaya, gaun panjang yang dikenakan sebagian perempuan Muslim, sebagai “simbol agama.” Siswa dan siswi Prancis dilarang mengenakan jilbab, kippah atau kopiah Yahudi dan salib di sekolah.