REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Pengacara hak asasi manusia di Prancis, berencana mengajukan pengaduan terkait aturan baru berbusana bagi siswi sekolah di negara itu. Pengacara itu mengatakan bahwa seorang siswi berusia 15 tahun diminta meninggalkan sekolah karena mengenakan pakaian ala kimono Jepang.
Seorang siswi di Kota Lyon, Prancis, dilaporkan telah dipulangkan ke rumah karena mengenakan pakaian bergaya kimono, pakaian tradisional Jepang. Apa yang terjadi di Prancis ini, ketika negara Eropa tersebut bergulat dengan undang-undang kontroversial yang melarang pakaian menampilkan simbol-simbol agama dan budaya asal di sekolah-sekolah umum di Prancis.
Pengacara hak asasi manusia, Nabil Boudi, mengatakan kepada Aljazirah pada Rabu (6/9/2023), bahwa gadis berusia 15 tahun itu diberi tahu oleh kepala sekolah untuk meninggalkan sekolah karena pakaiannya. Kala itu, siswa tersebut menggunakan bercelana jins, kaos oblong dan kimono terbuka.
"Skenario ini menggambarkan ekses berbahaya yang secara sah dapat diperkirakan dari perintah yang baru-baru ini diberikan oleh menteri pendidikan kepada pemerintahannya," kata Boudi.
Siswa yang dilaporkan tersebut mengatakan bahwa pakaiannya tidak mewakili afiliasi agama apa pun. Sementara, tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil dapat dihukum oleh hukum pidana, kata pengacara tersebut.
"Hari ini seorang siswi SMA yang pagi tadi dikeluarkan oleh kepala sekolah karena dia mengenakan kimono. Keluhan atas tindakan diskriminasi atas dasar afiliasi agama akan diajukan," tulis Boudi dalam siaran persnya.
Dalam aturan baru itu, semua simbol budaya dan keagamaan di sekolah negeri di Prancis telah dilarang keras sejak abad ke-19, dengan undang-undang yang menghapus pengaruh Katolik tradisional dari pendidikan publik. Sekolah-sekolah negeri di Prancis juga tidak mengizinkan pemakaian salib besar.
Para siswa juga dilarang mengenakan kippah Yahudi. Pada tahun 2004, Prancis juga melarang jilbab Muslim di sekolah. Sementara pada tahun 2010, negara ini mengeluarkan larangan cadar wajah penuh di tempat umum, yang membuat marah banyak orang di komunitas Muslim yang berjumlah lima juta orang.
Dalam langkah terbarunya terkait cara berpakaian siswa sekolah, pemerintah mengumumkan bulan lalu larangan abaya yakni jubah longgar dan panjang yang dikenakan oleh beberapa wanita Muslim. Memakai abaya dinilai melanggar aturan sekularisme dalam pendidikan.
Setelah diterapkan, dilaporkan ada yang tetap menentang larangan, dengan tetap menggunakan abaya. "Hampir 300 anak perempuan muncul di pagi hari pertama sekolah dengan mengenakan abaya," menurut Menteri Pendidikan Gabriel Attal. Sebagian besar setuju untuk mengganti jubah mereka, tetapi 67 orang menolak dan akhirnya mereka dipulangkan.