Ahad 10 Sep 2023 11:15 WIB

Soal Putusan Restitusi Mario Dandy, LPSK: Hakim tak Berikan Pidana Pengganti

Majelis hakim memutuskan Mario Dandy wajib membayar restitusi Rp 25 miliar.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Terdakwa Mario Dandy Satriyo saat menjalani sidang pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/8/2023).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Mario Dandy Satriyo saat menjalani sidang pembacaan tuntutan oleh jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (15/8/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis 12 tahun penjara dan membebankan membayar restitusi Rp 25 miliar kepada Mario Dandy (MD), yang terjerat kasus penganiayaan anak berinisial CDO. Putusan restitusi tersebut jumlahnya jauh dari hasil penilaian restitusi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebesar Rp 120 miliar.

Wakil Ketua LPSK, Maneger Nasution menyampaikan lembaganya sudah punya rumusan untuk menghitung restitusi yang wajib ditebus Mario Dandy. Sehingga restitusi Rp 120 miliar mestinya dikenakan kepada Mario.

Baca Juga

"Kalau ditanya apakah puas dengan keputusan pengadilan soal besaran restitusi tersebut, jawabannya tentu harapannya diputus sesuai rekomendasi LPSK," kata Maneger kepada Republika.co.id, Ahad (10/9/2023).

Adapun Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengakui hakim memang dalam praktiknya dapat mengabulkan sepenuhnya hasil penilaian LPSK, bisa juga lebih rendah atau lebih tinggi dari hasil penilaian restitusi tersebut. "Namun, dalam perkara ini putusan restitusi hakim tidak memadai bagi pemulihan

korban, termasuk memaksa pelaku bertanggung jawab atas kondisi korban tersebut," ujar Edwin.

Dalam putusannya hakim memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk melelang

mobil Rubicon milik MD untuk mengurangi sebagian restitusi anak korban. Tapi

hakim tidak mengabulkan tuntutan JPU bila MD tidak membayar restitusi dikenakan pidana tambahan 7 tahun penjara. "Hakim sama sekali tidak memberikan pidana pengganti bila MD tidak membayar restitusi tersebut," ujar Edwin.

Selanjutnya, menurut Edwin, mestinya putusan mempertimbangkan konsekuensi

biaya dan rentang waktu yang dibutuhkan bagi pemulihan korban. Yaitu fisioterapi

motorik, okupasi terapi, dan psikologi terapi.

"Prinsip putusan idealnya juga mempertimbangkan jarak waktu yang memadai untuk korban dapat menjalankan tindakan medis dalam waktu panjang demi kepentingan korban," ucap Edwin.

Berdasarkan catatan LPSK, pada perkara anak sudah banyak putusan hakim

yang menerapkan sita lelang harta pelaku untuk membayar restitusi atau subsider

kurungan/penjara bila pelaku tidak mau atau harta tidak mencukupi untuk membayar restitusi.

Hal tersebut dijelaskan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 863 K/Pid.Sus/2023 yang menerapkan subsider kurungan pengganti 1 tahun bila terdakwa tidak bayar restitusi atau putusan PN Salatiga, Jawa Tengah Nomor 80/Pid Su/2022/PN Slt yang memutuskan bila pelaku tidak bayar restitusi diganti dengan penjara 1 tahun.

Dengan demikian, Edwin menilai upaya banding bisa dilakukan jaksa. Edwin berharap hakim pada tingkat banding memperbaiki putusan terkait hak atas restitusi korban dan memaksa pelaku membayar kerugian tersebut.

"LPSK berharap vonis pidana tidak hanya berorientasi pada penghukuman terhadap pelaku, tetapi juga memaksa pelaku untuk mengganti kerugian materiil dan immateriil yang dialami korban," ujar Edwin.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement