REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama Gamma Abdurahman Thohir dikenal sebagai remaja yang sudah mencetuskan aksi iklim sejak usia 17 tahun. Desa Bumi, yang dulu bernama Micro Hydro for Indonesia, merupakan gerakannya untuk menjembatani kesenjangan pembangunan antara pedesaan dan perkotaan di Indonesia melalui energi terbarukan.
Setelah menyelesaikan studinya di Amerika Serikat (AS), Gamma memperluas Desa Bumi ke sejumlah wilayah terpencil yang tak tersentuh aliran listrik. Desa Bumi berupaya untuk agar desa teraliri listrik melalui pembangkit listrik kecil tenaga air skala mikro yang memiliki kapasitas 40 kilowatt yang.
Desa Liyu menjadi pilihan kedua untuk menyediakan akses listrik dari sumber energi terbarukan tenaga surya dengan kapasitas 2,9 kW. Sumber energi itu pun telah digunakan untuk aktivitas sosial dan pariwisata di Desa Liyu dan menghadirkan energi bersih bagi masyarakat Suku Dayak. "
Kita coba besarin payung kita. Alhamdulillah sudah tambah dua lokasi lagi untuk, dan keduanya di Kalimantan," ujar Gamma saat berbincang dengan Republika, beberapa waktu lalu.
Selain itu, Desa Bumi menyasar satu desa di wilayah Kabupaten Tabalong, yaitu Desa Bangkiling Raya, Kecamatan Banua Lawas, Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Di desa yang tumbuh sebagai desa pesantren, Gamma mendukung kelistrikan dengan pemasangan panel surya dengang kapastas 5,3 kW.
Desa Bumi juga mendukung Ponpes Miftahul Ulum yang membuat para santri dapat meningkatkan kemampuan dalam sejumlah bidang baik pada bidang perikanan, perkebunan hingga penangkaran madu. Dalam perkembangannya hingga kini, putra bungsu bos Adaro tersebut memiliki asa dalam perjalannya memperluas Desa Bumi ke wilayah-wilayah terpencil di Indonesia lainnya. Meski, tantangan dan observasi terkait demografi dalam menghadirkan pembangkit listrik energi terbarukan, perlu dikaji lagi.
"Kedepannya InsyaAllah kita bisa perluas bukan hanya di Pulau Jawa, tapi kita mau punya titik di seluruh Indonesia," katanya.
Ketika berusia 17 tahun, Gamma terdorong oleh kesadaran tentang kesenjangan listrik pedesaan dengan perkotaan. Desa Bumi pun dimulai di desa terpencil di Kasepuhan Ciptagelar yang terletak di lereng Gunung Halimun, Provinsi Jawa Barat, dengan menginisiasi pembangkit listrik tenaga mikro hidro kapasitas 40 kW.
Gamma mengakui awalnya pendekatan ke masyarakat untuk mengaliri listrik di desa tidaklah mudah. Perlu sosialisasi dan penjelasan yang mudah dan masuk kepada masyarakat mengenai pilot project yang akan dibangun.
"Awalnya itu kita pendekatan. Baru kita bilang ada profit listrik yang ramah lingkungan melalui sungai yang sudah ada, dan sebagainya, baru kemudian diterima," katanya.
Kendati demikian, tantangan, kata Gamma tentu ada dalam proyek Desa Bumi. Namun tantangan kemanusiaan yang menonjol. "Ya satu teknisnya, fisikanya, logistiknya segala macem jauh, infrastrukturnya juga. Tapi yang lebih pentingnya yaitu tantangan kemanusiaannya, di mana kita bisa ada connection antar-orang dari desa dan kita yang mau bantu cari solusi yang cocok buat keduanya," ungkapnya.
Gamma berharap keberhasilan proyek Desa Bumi semakin mendorong pemerintah dan banyak pelaku usaha lainnya untuk lebih aktif dalam mengembangkan energi terbarukan di Indonesia. “Seperti yang kita lihat, di Indonesia sendiri masih banyak desa-desa yang belum menikmati aliran listrik padahal potensi listrik dari energi terbarukan di Indonesia sangat besar sedangkan pemanfaatannya masih rendah,” kata Gamma.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi energi baru terbarukan (EBT) yang terbesar di dunia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat potensi EBT melimpah mulai dari energi surya, bayu, hydro, bioenergi, panas bumi, dan juga laut yang total potensinya 3.686 gigawatt (GW).