Kamis 05 Oct 2023 14:47 WIB

Presiden Azerbaijan Mundur dari Pembicaraan Damai dengan Armenia dan Uni Eropa

Armenia dan Azerbaijan terlibat konflik perebutan wlayah Nagorno-Karabakh.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev (kanan) menarik diri dari pertemuan yang ditengahi oleh Uni Eropa dengan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan.
Foto: EPA-EFE/AZERBAIJAN PRESIDENT PRE
Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev (kanan) menarik diri dari pertemuan yang ditengahi oleh Uni Eropa dengan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan.

REPUBLIKA.CO.ID, BAKU -- Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev pada hari Rabu (4/10/2023) menarik diri dari pertemuan yang ditengahi oleh Uni Eropa dengan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan, yang memberikan pukulan terhadap prospek untuk menyelamatkan proses perdamaian antara kedua negara.

Pertemuan tersebut bertujuan untuk mencegah eskalasi lebih lanjut dan memulihkan dialog setelah Azerbaijan bulan lalu mengambil alih kembali kontrol atas wilayahnya, yang dihuni oleh etnis Armenia. Pengambil alihan wilayah ini telah menyebabkan lebih dari 100.000 orang mengungsi ke Armenia. 

Baca Juga

Pashinyan, yang membutuhkan dukungan untuk mengatasi krisis kemanusiaan akibat wilayah yang diambil alih dan gelombang pengungsi, mengatakan bahwa ia masih akan menghadiri pembicaraan pada Kamis (5/10/2023) di Spanyol dengan Presiden Dewan Uni Eropa Charles Michel dan para pemimpin Prancis dan Jerman. 

Namun, kantor berita Pemerintah Azerbaijan, APA, yang mengutip sumber-sumber yang tidak disebutkan namanya mengatakan bahwa Aliyev telah memutuskan untuk tidak hadir. 

Kantor berita tersebut mengatakan bahwa Aliyev menginginkan sekutunya, Turki, untuk diwakili dalam pertemuan tersebut, namun Prancis dan Jerman keberatan, dan mengatakan bahwa Baku merasa "suasana anti-Azerbaijan" telah berkembang di antara para perwakilan di pertemuan tersebut.

Sebuah sumber dalam pemerintahan Aliyev mengkonfirmasi kepada Reuters bahwa presiden tidak akan pergi, tetapi mengatakan bahwa ia siap untuk berbicara dalam format tiga arah dengan Pashinyan dan Michel dari Uni Eropa. Pasukan Aliyev melancarkan serangan kilat bulan lalu untuk merebut kembali kendali atas wilayah Nagorno-Karabakh di Azerbaijan. Walaupun wilayah itu berpenduduk etnis Armenia.

Wilayah ini diklaim Armenia telah memisahkan diri dalam sebuah perang di tahun 1990-an. Namun, Pemerintah Aliyev menegaskan wilayah itu sudah dipulihkan kedaulatannya ke Azerbaijan. 

Karabakh telah menjadi fokus dari dua perang antara Armenia dan Azerbaijan dalam 30 tahun terakhir dan mereka belum mencapai kesepakatan damai, sebuah tugas yang semakin mendesak dengan adanya krisis terbaru.

 

Olesya Vartanyan, analis Kaukasus Selatan di International Crisis Group, sebuah lembaga nirlaba yang bekerja untuk meredakan konflik global, mengatakan bahwa ketidakhadiran Aliyev merupakan sebuah kemunduran besar.

"Sangat penting baginya untuk datang, setelah operasi militer di Nagorno-Karabakh, untuk berkomitmen kembali pada proses (perdamaian) dengan mediasi Uni Eropa dan Amerika Serikat," katanya.

Vartanyan mengatakan bahwa para penasihat Pashinyan dan Aliyev telah bertemu dengan para pejabat Prancis, Jerman, dan Uni Eropa di Brussels minggu lalu. Pertemuan ini untuk mempersiapkan pembicaraan di Spanyol dan menghindari adanya kesalahpahaman.

Ia mengatakan bahwa pengalaman telah menunjukkan bahwa kemungkinan bentrokan di lapangan lebih tinggi pada saat-saat ketika kedua belah pihak berhenti berbicara. Isu-isu bilateral yang masih belum terselesaikan adalah bagaimana mendefinisikan perbatasan bersama dan membuka kembali jalur transportasi yang telah terputus selama beberapa dekade akibat konflik.

Kantor berita Azerbaijan, APA, mengatakan bahwa keputusan Aliyev untuk tidak hadir sebagian dipicu oleh "pernyataan-pernyataan pro-Armenia" dari para pejabat Prancis. Dan adanya keputusan Prancis, yang diumumkan pada hari Selasa, untuk memasok peralatan militer kepada Yerevan.

Kementerian Luar Negeri Azerbaijan juga mengutuk apa yang dikatakannya sebagai komentar yang tidak berdasar pada hari Rabu oleh Menteri Luar Negeri Prancis Catherine Colonna.

Colonna mengatakan pada sidang parlemen bahwa Prancis tidak ingin meningkatkan krisis, tetapi melanjutkan penjualan senjata pertahanan ke Yerevan adalah hal yang wajar ketika "Azerbaijan tidak pernah berhenti mempersenjatai diri untuk melakukan tindakan ofensif".

Uni Eropa harus mengirimkan sinyal yang jelas bahwa setiap ancaman terhadap integritas teritorial Armenia tidak dapat diterima, kata Colonna, yang mengunjungi Pashinyan pada hari Selasa. "Saya ulangi, setiap tindakan ke arah ini akan menimbulkan reaksi keras," katanya.

APA mengatakan Azerbaijan tidak akan menghadiri pembicaraan di masa depan yang melibatkan Prancis. Omer Celik, juru bicara Partai AK yang berkuasa di Turki pimpinan Presiden Tayyip Erdogan, mendukung keputusan Aliyev untuk tidak menghadiri perundingan tersebut.

"Tuan Aliyev membatalkan kunjungannya ke Spanyol karena syarat partisipasi Turki tidak diterima. Kami mengagumi hal ini," ujarnya.

Senator AS Ben Cardin, ketua Komite Hubungan Luar Negeri, mengatakan bahwa Washington harus menahan bantuan keamanan kepada Azerbaijan dan meminta pertanggungjawaban atas apa yang ia sebut sebagai "kampanye pembersihan etnis yang terkoordinasi dan disengaja" di Nagorno-Karabakh.

Azerbaijan menyangkal adanya pembersihan etnis, dan mengatakan bahwa orang-orang Armenia tidak dipaksa untuk pergi dan akan menikmati hak-hak sipil penuh jika mereka tetap tinggal. Namun, banyak dari mereka yang mengungsi mengatakan bahwa mereka tidak mempercayai janji itu, mengingat sejarah berdarah antara kedua bangsa. 

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement