Senin 09 Oct 2023 15:55 WIB

OJK: Sektor Jasa Keuangan Mampu Hadapi Gejolak Suku Bunga Global

Insentif fiskal dan moneter yang dikeluarkan otoritas China masih terbatas.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Lida Puspaningtyas
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menjelaskan hasil RDK Bulanan OJK September 2023 dalam konferensi pers, Senin (9/10/2023).
Foto: Tangkapan layar
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menjelaskan hasil RDK Bulanan OJK September 2023 dalam konferensi pers, Senin (9/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan sektor jasa keuangan nasional terjaga stabil. Hal tersebut disampaikan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar berdasarkan hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan OJK September 2023.

"Hal ini didukung dengan permodalan yang kuat, kondisi likuiditas yang memadai, dan profil risiko yang terjaga sehingga meningkatkan optimisme bahwa sektor jasa keuangan nasional mampu memitigasi risiko higher for longer suku bunga global," kata Mahendra dalam konferensi pers RDK Bulanan OJK September 2023, Senin (9/10/2023).

Baca Juga

Mahendra menjelaskan, divergensi kinerja perekonomian global masih terus berlanjut. Dia menuturkan, inflasi di Amerika Serikat (AS) masih tinggi di tengah solidnya kinerja perekonomian yang mendorong kebijakan bank sentral The Fed yang diprediksi akan lebih hawkish.

Sementara di Eropa, Mahendra menyebut, meskipun kinerja perekonomian terus melemah dan tingkat inflasi yang masih membuat otoritas moneter Eropa kembali menaikan suku bunganya. Hal tersebut menurutnya mengisyaratkan tingkat suku bunga saat ini telah mencapai puncaknya.

Lalu di China, Mahendra mengatakan, pemulihan ekonomi yang belum sesuai ekspektasi dan kinerja ekonomi yang masih di level pandemi meningkatkan kekhawatiran. Khususnya bagi pemulihan perekonomian global.

"Insentif fiskal dan moneter yang dikeluarkan otoritas China masih terbatas," tutur Mahendra.

Mahendra menilai, perkembangan-perkembangan tersebut mendorong berlanjutnya kenaikan yield surat utang di Amerika Serikat. Begitu juga dengan penguatan nilai tukar dolar AS terhadap semua mata uang dunia utama lainnya dan negara-negara berkembang.

"Ini menyebabkan tekanan outflow dari pasar emerging markets termasuk Indonesia. Volatilitas di pasar keuangan baik di pasar saham, obligasi, dan nilai tukar juga dalam tren yang meningkat," ungkap Mahendra.

Sementara untuk perekonomian domestik, Mahendra menyebut saat ini meningkat 3,27 persen secara tahunan. Hal tersebut sejalan dengan ekspektasi pasar sebesar 3,3 persen.

"Ini didorong oleh kenaikan harga sebagian besar kelompok pengeluaran terutama kategori makanan, minuman, dan tembakau," jelas Mahendra.

Mahendra menambahkan, tren pergerakan inflasi inti masih melambat yang terlihat menurun menjadi 2,18 persen secara tahunan. Hal itu juga tercermin dari rendahnya penjualan ritel.

"Namun demikian kinerja sektor korporasi relatif masih baik terlihat dari PMI manufaktur yang terus di zona ekspansif dan neraca neraca perdagangan yang masih mencatatkan surplus," tutur Mahendra.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement