REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Salah satu warga Gaza yang mengungsi ke selatan, Fadi Daloul mengatakan tidak mudah untuk meninggalkan rumahnya ketika Israel mulai menjatuhkan pamflet di Gaza yang menyuruh orang-orang untuk pergi. Keluarganya merasakan kecemasan yang luar biasa, terutama pada malam hari.
Ada kemacetan lalu lintas. Beberapa mobil dibom serangan udara. Pada malam hari, anak-anak memeluk saya dan mulai menangis dan berteriak: 'Selamatkan kami, selamatkan kami'.
"Bagaimana kami bisa menyelamatkan mereka? Ketika kami meninggalkan rumah, kami mencium dinding saat keluar. Ini adalah migrasi dan kami tidak tahu berapa lama ini akan berlangsung. Kami berharap dunia dapat melihat kami, dan melihat bagaimana kami hidup. Lihatlah, kami memiliki rumah, dinding, dan air, tapi sekarang kami tinggal di tenda," katanya, Ahad (15/10//2023).
Israel mengatakan perintah evakuasi tersebut merupakan tindakan kemanusiaan untuk melindungi warga sementara mereka membasmi pejuang Hamas. PBB mengatakan memindahkan begitu banyak orang di Gaza tidak dapat dilakukan dengan aman tanpa menyebabkan bencana kemanusiaan.
Anak perempuan Daloul, Sahar, mengatakan tidak ada tempat untuk bersembunyi dari serangan udara.
"Seluruh hidup kami hidup dalam kesengsaraan. Kami tidak tahu bagaimana harus hidup. Tidak ada yang menyelamatkan kami atau datang mencari kami. Bagaimana kami akan hidup? Bagaimana?" katanya.
Pemboman Israel di Gaza membuat warga Palestina yang tetap tinggal dan warga yang melakukan perjalanan ke selatan menghadapi bahaya. Karena kecil kemungkinan Mesir akan membuka perbatasannya.
Salah satu warga Gaza yang mengidentifikasi dirinya sebagai Gina menggambarkan kengerian saat melintasi jalan utama timur Salahudeen, salah satu dari dua rute yang mengarah ke wilayah selatan.
"Saya ketakutan, saya pikir saya akan mati," kata perempuan berusia 20 tahun itu sambil menangis di telepon.
Mereka menyuruh kami melarikan diri dan kemudian mereka mengebom....