REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengidap penyakit kronis, orang biasanya perlu minum obat secara teratur. Hanya saja, rutinitas itu terkadang dapat membuat penderita merasa bosan.
Dokter spesialis anestesiologi RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dr. Noor Hafidz Sp.An mengingatkan bahaya di balik kecenderungan tersebut. Perubahan kebiasaan minum obat pada pasien yang memiliki penyakit risiko tinggi dapat menyebabkan risiko keparahan atau tingkat kritis yang lebih tinggi.
"Biasanya, pasien-pasien ICU menjadi kritis karena berubah kebiasaan minum obatnya karena bosan dan kalau berhenti atau malah infeksi mungkin bisa menjadi kondisi kritis," kata dr Hafidz dalam diskusi Kesehatan yang diikuti secara daring di Jakarta, Rabu (1/11/2023).
Dokter Hafidz mengatakan kondisi pasien dikatakan kritis jika mengalami sakit berat, sehingga potensi kematiannya dekat. Biasanya, pasien dengan kategori kritis mengalami gagal organ multiple atau mengalami infeksi yang mengancam nyawa.
Kategori kritis juga digunakan pada pasien yang mengalami trauma seperti kecelakaan atau korban kebakaran. Dokter yang menyelesaikan Pendidikan di Universitas Indonesia ini mengatakan kondisi kritis bisa dipicu dengan berbagai faktor risiko, yaitu host atau pasien, agen atau pembawa penyakit, dan lingkungan.
"Jadi dari faktor host, kekebalan tubuh, bagaimana genetiknya, kebiasaan terhadap sebuah penyakit akan menyebabkan dia sakit kritis atau tidak. Infeksi yang dikasih obat nggak mempan, bisa juga lingkungannya misalnya dia sehat-sehat saja tapi tinggal di daerah yang tinggi angka kesakitan," ucapnya.
Penderita strok, jantung, atau diabetes harus mengontrol penyakitnya dengan rutin mengonsumsi obat agar terhindar dari risiko keparahan. Bagi penderita hipertensi, obat rutin yang sudah diresepkan dokter sebaiknya diminum secara teratur. Obat tersebut dapat membantu kerja organ tubuh dalam menurunkan tekanan darah.
"Obat rutin yang sudah diresepkan oleh dokter tidak akan membuat ginjal rusak, karena dosisnya sudah disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien," kata dokter spesialis penyakit dalam dr Wirawan Hambali, Sp. P. D., FINASIM yang berpraktik di RS Pondok Indah – Puri Indah, Jakarta, dalam kesempatan terdahulu.
Sebaliknya, resep obat rutin yang tidak dikonsumsi dengan baik justru dapat memperberat kerja organ ginjal. Hanya saja, faktanya, sebagian besar pengidap hipertensi tidak menjalani pengobatan, serta dari sebagian yang menjalani pengobatan tidak mencapai target tekanan darah yang diharapkan.
Perawatan di ICU
Dokter Hafidz menyebut, pasien yang dalam kondisi kritis perlu dirawat di ruang perawatan khusus seperti Intensive Care Unit (ICU) untuk mendapatkan hasil optimal dan pengobatan yang terus menerus secara intensif.
Ada beberapa perbedaan dengan ruang rawat biasa, yaitu ketersediaan peralatan penyokong organ, jumlah perawat dan agresifitas perawat terhadap pasien kritis dalam pemberian obat dan mencari diagnostik lain.
"SDM perawatan intensif satu pasien satu perawat, ini beda jauh dengan rawat inap, kedua peralatan pasien di perawatan intensif membutuhkan banyak peralatan untuk pemantauan, untuk memberikan obat, memberikan organ support," jelas dr Hafidz.