REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan, sepanjang 2023 terdapat 17 kasus anak mengakhiri hidup atau bunuh diri. Jumlah tersebut diperkirakan masih belum menunjukkan jumlah yang sebenarnya karena kesadaran untuk melaporkan kasus bunuh diri anak belum terbentuk dengan baik.
“Sampai saat ini ada sembilan pengaduan dari media massa, namun setelah kami track, ada 17 kasus. Selebihnya kasus bunuh diri anak-anak rata-rata belum ada kesadaran dilaporkan. (Selain itu) kasus bunuh diri seringnya tidak diselidiki hingga tuntas,” ucap Komisioner KPAI Diyah Puspitarini kepada Republika, Senin (6/11/2023).
Dia menyampaikan, kasus-kasus itu terjadi pada usia rawan, yakni kelas lima sekolah dasar (SD), kelas satu dan dua sekolah menengah pertama (SMP), serta kelas satu dan dua sekolah menengah atas atau kejuruan (SMA/SMK). Ada sejumlah tindakan yang dilakukan oleh korban bunuh diri ketika memutuskan mengakhiri hidupnya.
“Dengan jatuh dari lantai sekolah, menggantung diri, menenggelamkan diri di sungai, menabrakkan diri di jalan atau rel umum, menyayat diri, dan lain-lain,” jelas Diyah.
Dia juga menyampaikan, kesehatan mental menjadi salah satu dari sejumlah faktor penyebab anak mengakhiri hidup atau bunuh diri. Keluarga, sekolah, masyarakat, dan paparan konten media sosial memegang peranan penting terhadap kesehatan mental anak.
“Ada beberapa faktor di luar kesehatan mental yang memang itu menjadi penyebab bunuh diri anak. Tetapi bahwa apakah ada kesehatan mental memengaruhi bunuh diri anak, ya ada. Tapi memang tidak semuanya,” jelas dia.
Lebih lanjut dia menerangkan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan anak dan remaja mengalami gangguan kesehatan mental. Faktor utamanya, kata dia, adalah pola pengasuhan di rumah. Kemudian faktor lain, yakni penanaman spiritual dan nilai keagamaan di rumah kepada anak. Faktor berikutnya masih erat kaitannya dengan keluarga, yakni teladan orang tua kepada anak.
“Dan tentu saja yang keempat adalah faktor media sosial. Jadi memang kesehatan mental ini salah satunya juga terjadi karena interaksi media sosial, di mana anak dengan dunia maya ini jauh lebih banyak daripada interaksi anak dengan dunia nyata,” jelas dia.
Diyah menuturkan, KPAI turut prihatin dengan fenomena bunuh diri anak yang belakangan terjadi. Sebab itu, pihaknya menilai kesehatan mental anak dan remaja saat ini memang sudah harus menjadi perhatian dan salah satu fokus pembangunan manusia di Indonesia.
“Memang kita harus sedih ya, kami turut prihatin bahwa memang kesehatan mental anak dan remaja saat ini memang harus diperhatikan dan menjadi salah satu fokus dari pembangunan manusia,” kata Diyah.
Di samping itu, hubungan antara kesehatan mental peserta didik dan kekerasan di sekolah cukup mengkhawatirkan dari hari ke hari. Hasil survei yang dilakukan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey pada 2022 menunjukkan, satu dari tiga remaja berusia 10-17 tahun di Indonesia memiliki gangguan kesehatan mental.
Melihat data itu, Kepala Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Rursprita Utami mengatakan, kondisi mental yang menurut membuat pembelajaran di sekolah menjadi tidak menyenangkan. Sekolah pun menjadi tempat yang kurang aman dan nyaman bagi seluruh warga sekolah.
“Untuk itulah, sangat penting bagi warga sekolah, khususnya peserta didik, memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk bisa mengelola emosi sehingga bisa menjaga kesehatan mental masing-masing,” ujar Rusprita dalam keterangannya, Senin (6/11/2023).
Sementara itu, Psikolog Anak Grace Eugenia Sameve menjelaskan, sebenarnya, kondisi kesehatan mental yang baik adalah ketika seseorang bisa memunculkan potensinya secara optimal. Bukan berarti kesehatan mental yang baik itu ketika seseorang tidak pernah mengalami stres, justru sebaliknya, kesehatan mental yang baik adalah ketika seseorang mampu menghadapi stres yang dialaminya.
“Kita tahu bullying bisa menjadi salah satu faktor seseorang mengalami stres atau kondisi yang tidak optimal sehingga dapat menurunkan kesehatan mentalnya, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Apapun jenis-jenis bullying-nya, perundungan itu tidak dapat dibenarkan, jadi lebih baik kita mencegah terjadi perundungan daripada mengobati,” jelas Grace.