REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umat Kristen di Jalur Gaza membuktikan semangat solidaritas dengan Muslim Gaza. Blokade brutal penjajah zionis Israel tidak menciutkan hati mereka, tapi justru telah menyatukan berbagai pemeluk agama dalam perjuangan untuk bertahan hidup dan meraih impian mereka bersama: kebebasan dan kemerdekaan.
‘’Kita semua adalah orang Palestina. Kami tinggal di kota yang sama, dengan penderitaan yang sama. Kita semua berada di bawah pengepungan dan kita semua sama,’’ kata Juru bicara Gereja Santo Porphyrius Gaza, Kamel Ayyad, seperti dikutip dari laporan Aljazeera berjudul ‘Under Israeli Attack: Who Are The Christians of Gaza?’.
Secara umum komunitas Kristen selalu memainkan peran penting dalam kehidupan Palestina. Mereka menelurkan tokoh-tokoh seperti Issa El-Issa, Falastin, dan Edward Said.
Di Gaza, warga Kristen memang berasal dari komunitas kecil. Namun, mereka memainkan peran yang sama besarnya, dalam menyuarakan kemerdekaan dan kemandirian Palestina.
‘’Mereka cenderung sangat terdidik dengan kehadiran yang kuat di dunia bisnis dan sektor sukarela,’’ kata Fadi Salfiti, warga Palestina beragama Kristen, yang saat ini berada di Spanyol di mana ia bekerja sebagai pakar manajemen.
Muslim dan Kristen Gaza sudah saling percaya. Pada tahun 2007, Gaza diguncang oleh kasus pembunuhan Rami Ayyad, manajer Toko Buku Guru, sebuah toko yang dikelola oleh umat Kristen Baptis di kawasan tersebut.
Israel menuduh Hamas sebagai pelakunya. Namun, Umat Kristen tidak percaya begitu saja dengan mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan siapa pun menyabotase hubungan Muslim-Kristen.
Secara keseluruhan, masyarakat komunitas Kristen dan Muslim di Gaza bersatu dalam melawan keterjebakan kolektif mereka. Tempat yang disebut sebagai penjara terbuka terbesar di dunia.
Sama seperti umat Islam yang tidak diizinkan untuk mengunjungi Masjid Al Aqsa di Yerusalem, umat Kristen Gaza juga tidak dapat mengunjungi tempat-tempat suci seperti Gereja Kelahiran Yesus di Betlehem, yang dihormati sebagai tempat kelahiran Yesus. ‘’Kedua komunitas ini terputus dari anggota keluarga mereka di Tepi Barat,’’ sebut laporan Aljazeera.