REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dewan Keamanan PBB kembali mencoba mengeluarkan resolusi mengenai perang Israel-Hamas untuk kelima kalinya setelah empat upaya sebelumnya gagal. Tapi masih terdapat perpecahan diantara negara anggota mengenai kata-kata resolusi tersebut.
Rancangan resolusi yang sedang dinegosiasikan itu akan menuntut "jeda kemanusiaan" di seluruh Jalur Gaza segera dilakukan untuk memberikan bantuan kepada warga sipil yang sangat membutuhkan.
Resolusi tersebut juga meminta "semua pihak" mematuhi hukum humanitarian internasional yang mewajibkan perlindungan pada warga sipil, perlindungan khusus pada anak-anak dan melarang penyanderaan.
Namun rancangan yang diusulkan Malta dan dilihat pada Selasa (14/11/2023) kemarin tidak menyinggung gencatan senjata. Resolusi tersebut juga tidak merujuk serangan mendadak Hamas ke Israel pada 7 Oktober lalu.
Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan serangan Israel ke Hamas sudah menewaskan 11 ribu orang lebih, sepertiganya adalah perempuan dan anak-anak. Sebanyak 15 negara anggota Dewan Keamanan PBB yang bertanggung jawab menjaga perdamaian dan keamanan, mengalami kelumpuhan sejak adanya perpecahan internal.
Terutama dalam kasus Cina dan Rusia yang mendesak gencatan senjata. Sementara Amerika Serikat (AS) sebagai sekutu terdekat Israel, hanya menyerukan jeda kemanusiaan tapi menolak menyebutkan gencatan senjata.
Dalam empat kali percobaan sebelumnya, resolusi yang dirancang Brasil diveto AS. Resolusi yang dirancang AS diveto Rusia dan cINA, dan dua resolusi yang dirancang Rusia gagal memperoleh sembilan suara "ya" yang dibutuhkan untuk diadopsi.
Beberapa diplomat dewan mengatakan pihak-pihak yang berseberangan semakin dekat. Dua di antaranya mengatakan pemungutan suara untuk rancangan terbaru dapat dilakukan paling cepat pada Rabu ini.
Namun para delegasi masih melakukan pengecekan di ibu kota masing-masing. Para diplomat bersikeras untuk berbicara secara anonim karena negosiasi seharusnya bersifat tertutup.
Resolusi yang sedang dipertimbangkan mengatakan jeda kemanusiaan harus dilakukan "selama beberapa hari yang cukup" untuk membuka koridor bagi akses tanpa hambatan bagi PBB, Palang Merah, dan pekerja bantuan lainnya untuk memasok air, listrik, bahan bakar, makanan, dan pasokan medis kepada semua orang yang membutuhkan.
Resolusi itu juga mengatakan jeda juga harus memungkinkan perbaikan infrastruktur vital dan memungkinkan upaya penyelamatan dan pemulihan yang mendesak.
Setelah kegagalan resolusi Dewan Keamanan yang keempat, negara-negara Arab beralih ke Majelis Umum yang beranggotakan 193 negara dan berhasil mendapatkan persetujuan untuk resolusi yang menyerukan "gencatan senjata kemanusiaan" di Gaza yang dimaksudkan untuk menghentikan permusuhan antara Israel dan Hamas.
Ini merupakan respons pertama PBB terhadap perang tersebut. Namun, tidak seperti resolusi Dewan Keamanan, resolusi Majelis Umum tidak mengikat secara hukum, meskipun resolusi tersebut merupakan barometer opini dunia.
Hasil pemungutan suara adalah 120-14 dengan 45 abstain. Dari lima anggota Dewan Keamanan yang memiliki hak veto, Rusia, Cina, dan Prancis memberikan suara setuju, Amerika Serikat memberikan suara tidak setuju, dan Inggris abstain.
Resolusi Majelis Umum diadopsi pada 27 Oktober dan pada 9 November Israel setuju untuk melakukan jeda pertempuran selama empat jam. Namun, hanya sedikit bantuan yang berhasil dikirim ke Gaza melalui penyeberangan Rafah dari Mesir, dan bencana kemanusiaan terus berlangsung.
Direktur International Crisis Group yang berada di bawah PBB, Richard Gowan mengatakan penolakan AS terhadap gencatan senjata "merupakan hadiah yang terus diberikan kepada Rusia secara diplomatis."
Ia mengatakan meskipun banyak diplomat berpikir Rusia menuntut gencatan senjata "karena alasan yang sebagian besar sinis untuk membuat Amerika terlihat buruk," posisi Moskow "lebih dekat dengan arus utama pemikiran dewan, dan AS terlihat terisolasi."
Ironisnya, Dewan Keamanan menyerukan gencatan senjata dalam perang di Balkan hingga Suriah "dengan dampak yang kecil atau bahkan tidak ada," kata Gowan.
"Seruan gencatan senjata dari PBB akan mempermalukan tetapi tidak benar-benar membatasi Israel," katanya.
"Tetapi AS jelas merasa langkah simbolis seperti itu terlalu berisiko secara politis," tambahnya.