REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, meminta pemerintahnya untuk menerima kesepakatan dengan Hamas Palestina untuk membebaskan beberapa sandera di Gaza, Selasa (21/11/2023). Kesepakatan ini dapat berlaku dengan imbalan gencatan senjata beberapa hari.
Para pejabat dari Qatar yang menjadi penengah perundingan, serta Amerika Serikat (AS) , Israel, dan Hamas selama berhari-hari mengatakan, kesepakatan akan segera tercapai. Namun momen tersebut semakin nyata saat Netanyahu bertemu dengan kabinet perangnya dan kabinet keamanan nasional yang lebih luas untuk membahas mengenai kesepakatan tersebut.
Hamas disebut menyandera lebih dari 200 orang, yang dilakukan saat memasuki wilayah perbatasan Israel pada 7 Oktober. Kelompok itu hingga saat ini telah membebaskan empat sandera, warga AS Judith Raanan dan putrinya Natalie Raanan pada 20 Oktober serta warga Israel Nurit Cooper dan Yocheved Lifshitz pada 23 Oktober.
Perdana Menteri Israel mengatakan, intervensi Presiden AS Joe Biden telah membantu meningkatkan kesepakatan sehingga mencakup lebih banyak sandera dengan konsesi yang lebih sedikit. Namun Netanyahu mengatakan misi Israel yang lebih luas tidak berubah.
“Kami sedang berperang dan kami akan melanjutkan perang sampai kami mencapai semua tujuan kami. Untuk menghancurkan Hamas, kembalikan semua sandera kami dan pastikan tidak ada seorang pun di Gaza yang dapat mengancam Israel,” kata Netanyahu dalam rekaman pesan di awal pertemuan.
Jika disetujui, perjanjian tersebut akan menjadi gencatan senjata pertama dalam perang dengan pemboman Israel telah meratakan sebagian besar wilayah Gaza yang dipimpin Hamas. Serangan tanpa henti Israel telah membunuh 13.300 warga sipil di daerah kantong kecil berpenduduk padat dan menyebabkan sekitar dua pertiga dari 2,3 juta penduduknya kehilangan tempat tinggal.
Seorang pejabat AS yang mengetahui diskusi tersebut mengatakan, kesepakatan itu akan mencakup pembebasan 50 sandera yang diambil dari Israel, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Sebagai imbalan pembebasan 50 sandera, Hamas meminta imbalan pembebasan 150 tahanan Palestina dan jeda pertempuran selama empat atau lima hari.
Jeda tersebut akan memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar Majed Al-Ansari mengatakan proposal kesepakatan pembebasan sandera telah disampaikan ke Israel pada Selasa dini hari.
“Negara Qatar sedang menunggu hasil pemungutan suara pemerintah Israel atas proposal tersebut,” ujar Al-Ansari.
Kelompok bersenjata Palestina Jihad Islam mengumumkan pada Selasa malam, kematian salah satu sandera Israel yang mereka sandera sejak serangan 7 Oktober terhadap Israel. “Kami sebelumnya menyatakan kesediaan kami untuk melepaskannya karena alasan kemanusiaan, namun musuh mengulur waktu dan hal ini menyebabkan kematiannya,” kata Brigade Al Quds di saluran Telegramnya.
Ketika perhatian terfokus pada kesepakatan pembebasan sandera, pertempuran di lapangan terus berkobar. Israel mengatakan, pasukannya telah mengepung kamp pengungsi Jabalia. Kantor berita milik pemerintah Palestina WAFA mengatakan, 33 orang terbunuh dan puluhan lainnya luka-luka dalam serangan udara Israel di wilayah itu.
Sedangkan di Gaza selatan, media yang berafiliasi dengan Hamas mengatakan, 10 orang terbunuh dan 22 lainnya luka-luka akibat serangan udara Israel terhadap sebuah apartemen di kota Khan Younis.