REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa merek besar telah menjadi sasaran boikot. Starbucks dan McDonald's masuk daftar perusahaan yang diboikot karena telah memberikan dukungan langsung kepada Israel.
Namun, apakah boikot benar-benar berhasil? Menurut profesor pemasaran di Northeastern University, Yakov Bart, keberhasilan boikot sering kali bergantung pada merek, bukan konsumen.
“Ketika merek lebih mudah tergantikan, merek tersebut lebih rentan terhadap boikot konsumen,” kata Bart dikutip Northeastern Global News, Selasa (5/12/2023).
Semakin besar kekuatan pasar yang dimiliki suatu perusahaan, sebaran produknya juga akan semakin luas. Maka semakin besar pula tantangan dalam melakukan boikot.
Tantangan yang dihadapi sebagian besar boikot adalah tingginya tingkat ketergantungan terhadap suatu produk. Perusahaan biasanya menciptakan produk yang sangat diperlukan oleh konsumen dalam kehidupan sehari-hari.
Berbeda dengan serikat pekerja, tidak ada serikat konsumen yang membantu menjaga masyarakat tetap terorganisir. Hal ini yang membuat gerakan boikot sulit mendapatkan momentum dalam skala besar.
“Selama Anda sesekali keluar untuk membeli merek-merek tersebut karena hal tersebut nyaman bagi Anda, maka jelas boikot tersebut tidak akan berhasil,” kata Bart.
Menurut Bart, jika konsumen tidak benar-benar beralih dari merek yang diboikot, hal tersebut tidak akan berhasil. Selain itu, kata Bart, boikot harus dilakukan secara masal agar berhasil.
Bagi sebagian konsumen boikot tidaklah mudah karena sudah merasa cocok dengan harga dan kenyamanannya. Gagalnya boikot juga bisa disebabkan karena kurangnya pilihan produk lain di wilayah mereka.