REPUBLIKA.CO.ID, BANGLI -- Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) fokus menggarap porsi sebesar 75 persen kredit produktif pada 2024 untuk mendukung usaha mikro kecil menengah (UMKM).
“Tahun depan (2024) kami fokus ke produktif dan diharuskan kepada penyelenggara (teknologi keuangan) untuk portofolio pinjaman produktif, tidak hanya fokus di konsumtif,” kata Wakil Ketua Bidang Hubungan Masyarakat AFPI I Made Wisnu Saputra di sela diskusi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bali di Kintamani Kabupaten Bangli, Bali, Senin (11/12/2023).
Asosiasi yang menaungi 101 pelaku usaha teknologi keuangan yang mempertemukan pemberi pinjaman dan peminjam (peer to peer/P2P lending) mencatat realisasi kredit multiguna atau konsumtif secara nasional lebih besar dibandingkan kredit produktif.
AFPI mencatat mencermati realisasi pinjaman, masih didominasi kredit konsumtif atau multiguna yakni per September 2023, realisasi kredit produktif P2P lending secara nasional mencapai Rp 7,8 triliun dan kredit konsumtif lebih tinggi mencapai Rp 12,9 triliun.
Jika dibandingkan periode sama 2022, realisasi kredit konsumtif juga lebih tinggi mencapai Rp 10,1 triliun dan kredit produktif mencapai Rp 9,3 triliun.
“Permintaan itu lebih banyak sekarang di kredit untuk konsumtif, gaya hidup dan lainnya. Untuk itu kami coba edukasi ke masyarakat gunakan P2P lending untuk sesuatu yang produktif,” katanya.
Ia menilai P2P lending memiliki peluang besar mengarahkan kreditnya ke sektor produktif mengingat saat ini diperkirakan ada sekitar 46,6 juta UMKM belum memiliki akses kepada kredit dan sebanyak 132 juta individu belum memiliki akses kepada kredit.
Tak hanya itu, kata dia, industri fintech juga memiliki peluang menggenjot realisasi kredit karena diperkirakan ada celah kredit sebesar Rp 1.650 triliun pada 2018 yakni kebutuhan pembiayaan mencapai Rp 2.650 triliun dan yang baru bisa dipenuhi industri jasa keuangan konvensional mencapai Rp 1.000 triliun.
Di sisi lain ia menjelaskan hasil riset AFPI dan Ernst and Young bahwa total kebutuhan pembiayaan UMKM pada 2026 diproyeksikan mencapai Rp 4.300 triliun.
Adapun kemampuan suplai, tambah dia, mencapai Rp 1.900 triliun sehingga diperkirakan ada celah yang perlu dipenuhi atau credit gap mencapai Rp 2.400 triliun.
Sementara itu, sejak berdiri pada Oktober 2018, asosiasi ini mencatat realisasi pinjaman secara nasional hingga September 2023 mencapai Rp 696,86 triliun dengan 1 juta pemberi pinjaman dan 121,95 juta peminjam.
Khusus untuk di Bali, sejak 2018 hingga September 2023, pelaku usaha P2P lending menyalurkan Rp 8,79 triliun, dengan jumlah pinjaman pada Januari-September 2023 mencapai Rp 846,5 miliar.
Selain itu, jumlah pemberi pinjaman per September 2023 mencapai 16.543 akun dan total penerima pinjaman per September 2023 di Bali mencapai 1,23 juta akun.