REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keterwakilan perempuan di kancah politik terus diperjuangkan di Indonesia. Perempuan ingin terjun langsung dalam politik demi memperjuangkan aspirasi perempuan itu sendiri. Sayangnya, perjuangan ini dihadapkan dengan jalan terjal.
Salah satu hambatan diawali hampir semua partai politik tidak memenuhi kuota 30 persen perempuan di sejumlah daerah pemilihan (dapil) pada tahap daftar calon sementara (DCS) Pemilu 2024. Penyebabnya lantaran Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU) menerapkan pendekatan pembulatan ke bawah. Sebagai contoh, partai politik mengusung 8 calon anggota legislatif (caleg) di suatu dapil, apabila dihitung murni, jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4 orang.
Lantaran angka di belakang koma tak mencapai 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Dengan demikian, partai politik cukup mengusung 2 caleg perempuan saja dari total 8 caleg. Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen, bukan 30 persen.
Rizki Rahayu Fitri menjadi salah satu perempuan muda yang berkompetisi dalam Pemilu 2024. Rizki tercatat sebagai caleg DPRD Provinsi Aceh untuk dapil 4 menaungi Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Dapil tersebut menjadi zona tempur Rizki yang merupakan putri daerah Aceh Tengah.
"Ada misi besar yang harus dibangun untuk wilayah tengah (Aceh) menjadi kabupaten mandiri dan inovatif," kata Rizki kepada Republika belum lama ini.
Rizki mungkin lebih beruntung dari Caleg perempuan lain. Rizki menjadi Caleg dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan partai dengan pemenuhan kouta keterwakilan perempuan di Pemilu 2024 versi Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit). Adapun pemenuhan kouta keterwakilan perempuan masih menjadi pekerjaan rumah bagi partai lain menurut Netgrit.
Awal mula Rizki menjadi Caleg dengan ditawari oleh pucuk pimpinan DPW PKS Aceh. Rizki sempat kaget dengan tawaran itu. Rizki lantas menjawab tawaran tersebut setelah memantapkan hatinya untuk membela kepentingan masyarakat Aceh Tengah.
"Dengan memantapkan tawaran melalui berbagai pertimbangan akhirnya saya daftarkan diri ke DPD wilayah 4, dan mengirimkan berkas pencalegan ke DPW (PKS)," ujar perempuan kelahiran tahun 1997 itu.
Atas masalah keterwakilan perempuan di Pemilu 2024, Rizki menyebut jatah 30 persen sebenarnya masih kurang. Apalagi menurutnya penerapan kuota itu hanya sebagai formalitas. Rizki mengamati perempuan masih "ditekan" di kancah legislatif karena kuotanya tak bisa mengalahkan atau minimal sama dengan laki-laki.
"Faktanya di lapangan perempuan yang nyaleg keluhannya hampir dari representatif partai itu sama, dikerdilkan oleh 70 persen sisanya," ujar Rizki.
Oleh karena itu, Rizki mendorong partai di Indonesia untuk merekrut kader atau simpatisan supaya kuota keterwakilan perempuan 30 persen terpenuhi. Rizki menyoroti selama ini perempuan di daerah masih dianggap tidak berpotensi di kancah politik. Sehingga mereka kurang mendapat ruang kesempatan di Pemilu 2024.
"Sejauh yang saya lihat karena persoalan tidak adanya dukungan dan dorongan kuat dari partai sehingga pemerataan kuotanya tidak imbang," ujar alumnus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara itu.
Keluhan serupa disampaikan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sekaligus Caleg di Pemilu 2024, Kris Dayanti yang mensinyalir kebijakan KPU kurang mendukung keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2024. Sehingga isu kesetaraan gender menurutnya bukan menjadi atensi KPU.
"Kita selama ini teriak-teriak mengenai kesetaraan gender, tapi kebijakan KPU tidak merepresentasikan itu. Jadi saya kira ini suatu kemunduran dari alam demokrasi Indonesia terhadap dukungan pada kamu perempuan," ujar Anggota Komisi XI DPR itu.
Kris Dayanti mengingatkan kehadiran perempuan sebagai penentu kebijakan negara diyakini akan menghasilkan kebijakan yang lebih pro berharap perempuan dan anak. Ia meyakini makin banyak wakil rakyat perempuan maka kebijakan akan semakin pro perempuan dan anak.
Kris Dayanti khawatir isu kesetaraan gender bakal diduakan kalau kebijakan dari KPU sebagai penyelenggara Pemilu tak mewadahi keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.
"Kita harus menyadari, saat perempuan kuat maka Indonesia akan unggul. Karena perempuan memiliki ruang yang lebih besar untuk berkontribusi dalam pembangunan negara dan penyusunan kebijakan yang lebih inklusif," ujar Caleg Dapil Jatim 5 itu.
KPU pada Jumat (3/11/2023) akhirnya menetapkan 9.917 daftar calon tetap (DCT) untuk anggota DPR dari 18 partai peserta Pemilu 2024 yang tersebar di 84 dapil. Sementara itu untuk DCT anggota DPD, KPU RI menetapkan sebanyak 668 calon untuk 38 dapil, yang terdiri atas 535 laki-laki dan 133 perempuan.
Partai Garuda dan Partai Bulan Bintang (PBB) merupakan partai dengan persentase keterwakilan perempuan tertinggi. Partai Garuda di 84 dapil berjumlah 570 calon, yang terdiri atas 334 laki-laki dan 236 perempuan, sehingga keterwakilan perempuan 41,40 persen.
Partai Bulan Bintang (PBB) di 84 dapil dengan jumlah 470 calon, yang terdiri atas 277 laki-laki dan 193 perempuan, sehingga keterwakilan perempuan 41,06 persen.
Atas hal ini, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sudah memutuskan KPU melakukan pelanggaran administrasi mengenai target keterwakilan caleg perempuan sebesar 30%. Ini diawali aduan Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Keterwakilan Perempuan.
Bawaslu membuat putusan atas Perkara Pelanggaran Administratif Pemilu (PAP) No.010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XI/2023 yang menyimpulkan KPU secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran administratif Pemilu. Pelanggaran itu terjadi karena saat penetapan 267 DCT Anggota DPR pada Pemilu 2024, KPU terbukti tidak sesuai dalam menegakkan ketentuan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% dalam pengajuan daftar calon sebagaimana diatur pada Pasal 245 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
KPU hanya disanksi teguran sekaligus diminta memperbaiki tata cara, prosedur, dan mekanisme tahapan pencalonan anggota DPR oleh Bawaslu.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pun memutuskan semua komisioner KPU melanggar kode etik dalam membuat regulasi terkait keterwakilan minimal caleg perempuan pada Pemilu 2024. Sayangnya DKPP hanya menjatuhkan sanksi peringatan saja.
Selanjutnya, KPU pernah berjanji melakukan revisi aturan tersebut setelah adanya putusan uji materiil dari Mahkamah Agung (MA). Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga pun sudah mendorong KPU menjalankan putusan MA mengenai keterwakilan perempuan di legislatif.
Namun hingga sekarang, janji KPU hanya omong kosong. Tak pernah ada solusi konkret mengenai DCT DPR RI yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan minimal 30 %. Sehingga kalau permintaan selevel Menteri saja dihiraukan KPU, apalagi rakyat biasa?.
KPU hingga saat ini berkelit tidak ada sanksi bagi partai politik yang mengajukan calon legislatif perempuan dengan kuantitas kurang dari 30 persen. KPU bersikukuh membantah melakukan pelanggaran administratif pemilu dalam penetapan DCT anggota legislatif pada Pemilu 2024.
"Intinya di dalam Undang-Undang (Nomor 7 Tahun 2017 tentang) Pemilu tidak ada sanksi kalau misalnya ada partai politik yang mencalonkan dengan keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen. Sepanjang yang saya ketahui, di UU Pemilu tidak ada sanksi," kata Ketua KPU Hasyim Asyari.
Hasyim malah menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat untuk menilai sendiri partai politik yang mencapai keterwakilan perempuan hingga 30 persen atau lebih. Sikap ini menandakan ketidakberpihakan KPU terhadap afirmasi perempuan.
"Jadi masyarakat bisa membuat penilaian tentang komitmen masing-masing partai tersebut," ujar Hasyim.
Sementara itu, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menegaskan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dalam Pemilu menjadi bagian dari penghormatan dan pemenuhan HAM. KPU berkewajiban memastikan 30% kuota keterwakilan perempuan sesuai amanat undang-undang.
Atnike mengibaratkan jika suatu lembaga negara tidak melakukan apa yang diatur berdasarkan undang-undang, maka telah melakukan pelanggaran hukum. Tetapi dalam hak asasi, ketika akibat pelanggaran undang-undang yang diamanatkan menyebabkan hilangnya hak asasi seseorang atau sekelompok orang maka dapat dikatakan melanggar hak asasi.
"Ketika perundang-undangan menyebutkan kuota 30 % keterwakilan perempuan untuk menjadi calon anggota legislatif tidak terwujud, maka negara telah melakukan pelanggaran akibat gagal memenuhi hak perempuan untuk menjadi anggota legislatif," ujar Atnike.
Tercatat, dalam tiga periode terakhir, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai angka 30 persen. Bahkan, dari 34 provinsi yang menyelenggarakan pemilihan pada 2019 lalu, hanya satu provinsi yang mencapai angka minimal tersebut.
Patut diingat pula afirmasi perempuan dalam Pemilu dimulai sejak Pemilu 2004. Ini melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, afirmasi perempuan diwujudkan dalam bentuk keterwakilan 30% perempuan.
Keterwakilan perempuan dinilai berhasil melahirkan berbagai peraturan perundang-undangan yang berpihak pada perempuan, anak, dan kelompok rentan seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, hingga direvisinya UU Perkawinan.
"Pemenuhan kuota perempuan tetap terus digaungkan. Memprioritaskan perempuan agar keterwakilan perempuan di parlemen juga melahirkan regulasi untuk perempuan juga," begitulah harapan Caleg muda Rizki Rahayu Fitri agar perempuan bisa bersuara untuk perempuan juga dari ranah legislatif.