REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG---- Aturan kenaikan pajak hiburan 40-75 persen dalam UU Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menuai polemik. Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota masih banyak yang belum menerapkan aturan ini.
UU tersebut menjelaskan tentang pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) seperti makanan dan minuman, jasa perhotelan, dan jasa kesenian paling tinggi 10 persen. Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa, pajaknya ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Salah satu yang belum menerapkan aturan ini yaitu, Pemerintah Kota Bandung. Pj Wali Kota Bandung, Bambang Tirtoyuliono mengatakan, dirinya akan mengkaji terlebih dahulu aturan itu bersama dengan jajaran terkait.
Bambang pun belum bisa berkomentar banyak soal kebijakan kenaikan pajak hiburan ini apakah akan berdampak signifikan pada kunjungan wisatawan. Bambang memastikan akan mengkaji terlebih dahulu.
"Kami akan kaji dulu. Nanti akan diinformasikan selanjutnya penerapannya seperti apa," ujar Bambang, Sabtu (20/1/2024).
Sementara menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandung, Arief Syaifudin, dampak pada sektor pariwisata akan diketahui setelah adanya aturan tetap besaran kenaikan pajak hiburan.
Untuk saat ini, Arief juga belum bisa memastikan apakah akan berdampak signifikan ke kunjungan wisatawan Kota Bandung. Namun, dia berharap agar peningkatan pajak tidak naik secara signifikan.
"Saya berharap pajak tidak memberatkan. Makanya saya secara jelas kenaikan belum tahu. Penetapan saya belum tau berapa persen. Ini saya nunggu (keputusan aturan Pemkot Bandung) dulu," katanya.
Sedangkan, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Jawa Barat, Herman Muchtar mengatakan, UU kenaikan pajak ini akan membuat industri pariwisata berdampak besar. Bahkan dia mengatakan, aturan itu membunuh para pengusaha hiburan.
"Iya itu kan membunuh pengusahaan hiburan, menghambat peningkatan kemajuan pariwisata khususnya Jawa Barat," ujar Herman.
Herman menjelaskan, pemerintah seharusnya terlebih dahulu memikirkan pemulihan ekonomi sektor pariwisata setelah pandemik COVID-19, bukan membebankan dengan adanya UU tentang kenaikan pajak hiburan.
"Orang baru selesai pandemik COVID-19 recovery juga belum jalan, sekarang dibebankan (aturan) seperti itu, mana mungkin atuh. Harusnya pemerintah mendukung dulu recovery, orang restoran 2,5 tahun tutup setelah tutup kan berantakan ancur-ancuran," katanya.