REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT -- Hamas mengatakan mereka sudah menerima dan sedang mempelajari proposal gencatan senjata dan pembebasan sandera yang baru. Proposal itu disampaikan mediator setelah berbicara dengan Israel dalam negosiasi yang tampaknya paling serius dalam beberapa bulan terakhir.
Pada Selasa (30/1/2023) pejabat senior Hamas mengatakan proposal itu melibatkan gencatan senjata tiga tahap. Dimana tahap pertama akan membebaskan sisa tawanan yang diculik dalam serangan mendadak 7 Oktober 2023, kemudian tahanan militer dan akhirnya jenazah para sandera yang meninggal dunia.
Pejabat yang tidak bersedia disebutkan namanya tersebut mengindikasi berapa lama tahapan akan berlangsung atau apa yang diperkirakan akan terjadi setelah tahapan terakhir. Namun proposal ini mengusulkan gencatan senjata pertama sejak gencatan senjata bulan November lalu yang merinci pembebasan sandera yang disepakati kedua belah pihak.
Proposal gencatan senjata diserahkan setelah pembicaraan di kepala intelijen Israel, Amerika Serikat (AS) dan Mesir di Paris bersama perdana menteri Qatar. Untuk menunjukkan keseriusan negosiasi ini, pemimpin Hamas Ismail Haniyeh mengatakan ia akan berangkat ke Kairo untuk mendiskusikannya, kunjungan publik pertamanya selama lebih dari satu bulan.
Namun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengulang janjinya untuk tidak menarik pasukan sampai "kemenangan total." Hal ini menunjukkan besarnya kesenjangan sikap publik pihak-pihak yang bertikai mengenai apa yang perlu dilakukan untuk menghentikan pertempuran meski sementara.
Israel mengklaim Hamas membunuh 1.200 orang yang sebagian besar warga sipil dan menculik 240 lainnya dalam serangan mendadak 7 Oktober 2023. Hamas mengatakan hanya akan membebaskan sisa sandera yang masih ditawan bila terdapat kesepakatan untuk mengakhiri perang secara permanen.
Israel yang sudah membunuh 26 ribu atau satu persen lebih dari 2,3 juta rakyat Palestina di Gaza mengatakan tidak akan menghentikan perang sampai berhasil menumpas habis Hamas. Namun Netanyahu menghadapi tekanan dari AS untuk memetakan jalan mengakhiri perang.
Perdana menteri Israel itu juga ditekan keluarga sandera yang khawatir hanya negosiasi satu-satu cara untuk memulangkan anggota keluarga merkea. Namun partai-partai ekstrem kanan Israel yang menguasai koalisi pemerintahannya mengatakan mereka memilih keluar dari koalisi dibandingkan mendukung kesepakatan pembebasan sandera tapi membiarkan Hamas tetap berkuasa di Gaza.
Kemajuan diplomasi diumumkan beberapa jam setelah komando Israel menyamar sebagai petugas medis dan perempuan muslim untuk menyerbu ke rumah sakit di Tepi Barat. Mereka membunuh tiga orang Palestina, termasuk pejuang Palestina yang lumpuh yang ditembak mati di kasur tempat ia dirawat.
Di Gaza sendiri terjadi pertempuran sengit di utara dan selatan pemukiman tersebut. Pertempuran juga kembali bergejolak di utara saat pasukan Israel menyerbu Khan Younis.
Bulan Sabit Merah mengatakan pasukan Israel menyerbu rumah sakit di Khan Younis yang merupakan pusat penyelamatan. Pasukan Israel memerintahkan staf dan pengungsi untuk keluar dengan todongan senjata. Israel membantahnya.
Haniyeh mengatakan ia sedang mempelajari proposal gencatan senjata. Ia mengatakan prioritas Hamas saat ini adalah mengakhiri serangan Israel dan mengamankan kesepakatan penarikan semua pasukan.
Di pemukiman ilegal Israel di Tepi Barat, Netanyahu mengatakan ia tidak akan mengkompromikan apa pun kecuali kemenangan total. "Itu artinya menumpas Hamas, memulangkan semua sandera kami dan memastikan Gaza tidak lagi menjadi ancaman bagi Israel," katanya.
Ia menambahkan sampai saat itu tidak akan ada tahanan Palestina yang akan dibebaskan dari penjara Israel. Pejabat Hamas lainnya Sami Abu Zuhri mengatakan pernyataan Netanyahu "menunjukkan ia tidak tertarik dengan keberhasilan pertemuan di Paris dan tidak peduli pada nyawa tahanan (Israel-red)."
Pertempuran di Gaza menyebabkan eskalasi di seluruh Timur Tengah. Termasuk serangan terhadap pasukan AS yang dilakukan kelompok-kelompok bersenjata yang bersekutu dengan Iran.
Washington sedang mempertimbangkan respon serangan drone yang menewaskan tiga tentaranya pekan lalu di Yordania. AS mengatakan serangan itu memiliki "jejak kaki" milisi Hizbullah Ketaib yang pro-Iran di negara tetangga, Irak.
Pada Selasa, dalam langkah yang jarang terjadi menuju de-eskalasi, Ketaib Hizbullah mengatakan mereka menangguhkan operasi bersenjata melawan Amerika Serikat untuk menghindari "mempermalukan" Pemerintah Irak.
"Jelas apa yang terjadi adalah sebuah langkah yang terlalu jauh dan membuat semua orang berada di persimpangan jalan," kata seorang pejabat Irak.