REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mundurnya sejumlah elite politik dari jabatan di pemerintahan dan perusahaan negara terus terjadi. Terakhir, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok resmi mengundurkan diri sebagai komisaris utama di PT Pertamina (Persero), setelah langkah serupa dilakukan Mahfud MD yang mundur sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) dan Jaleswari Pramodhawardani Deputi V Kepala Staf Kepresidenan.
Pengamat politik Ray Rangkuti menilai gelombang mundurnya sejumlah tokoh, khususnya dari PDIP, dari pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi sudah tidak lagi tertahan. Dalam waktu dekat, ia meyakini, masih akan ada tokoh PDIP yang mundur dari kekuasaan.
"Sekarang tinggal tunggu menteri-menterinya," kata pendiri Lingkar Madani itu, Sabtu (3/2/2024).
Menurut dia, mundurnya PDIP dari sisi Jokowi tidak akan berdampak terhadap legitimasi presiden. Namun, kekuatan politik Jokowi otomatis tergerus dengan situasi tersebut.
"Jelas kalau PDIP keluar, saya pikir sangat serius implikasinya kepada Pak Jokowi," kata dia.
Ray menjelaskan, PDIP adalah partai dengan lebih dari 20 persen suara di DPR. Artinya, suara PDIP di parlemen sangat penting untuk membuat kebijakan. Dengan perginya PDIP, akan banyak sekali nanti aturan yang diinginkan Jokowi tak bisa jadi kenyataan.
Walhasil, dalam Jokowi ke depan akan sangat bergantung pada Partai Gerindra dan Golkar. Apalagi, belakangan para akademisi juga sudah mulai melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Jokowi.
"Saya kira ke depan bukan hanya kabinet dari PDIP yang mundur, yang non kabinet juga mungkin akan menyusul. Kekuatan politik Pak Jokowi perlahan akan memudar," ujar dia.