REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Khusus Mendagri RI Bidang Keamanan dan Hukum, Irjen Herry Heryawan resmi menyandang gelar Doktor Ilmu Kepolisian dari Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) setelah dinyatakan lulus dalam sidang terbuka promosi doktor di Gedung Tri Brata, STIK Lemdiklat Polri.
Herry berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul, 'Upaya Pemolisian dalam Menghadapi Kompleksitas Persoalan di Papua: Penguatan Pelibatan Sosial dalam Pemerintahan, Pembangunan, dan Perdamaian' dalam sidang terbuka yang dipimpin oleh Direktur Program Pascasarjana KIK, Brigjen Dr. Indarto, S.H., S.SOS., SIK., M.SI.
Dalam sidang terbukanya, Irjen Herry berhasil menjawab seluruh pertanyaan yang diberikan oleh para penguji yang terdiri dari: Kabaharkam Polri, Komjen. Dr. Muhammad Fadhil Imran, M.Si, kemudian Guru Besar PTIK-STIK Irjen. Prof. Dr. Chrysnanda Dwilaksana, M.Si, lalu Akademisi sekaligus Anggota DKPP 2022-2027 Prof. J. Kristiadi, Dekan FISIP UI, Prof. Dr. Semiarto Aji Purwanto, M.Si, Guru Besar Unpad, Prof. Muradi, M.Si., M.Sc., Ph.D, Guru Besar STF Driyarkara, Dr. Setyo Wibowo, M.A, dan Dosen UI, Dr. Tony Rudyansyah, M.A.
Sementara Promotor dalam sidang kali ini adalah Prof. Bambang Shergi Laksmono. Sedangkan Co-Promotor yakni, Dr. Robertus Robert, M.A dan Ir. Djuni Thamrin, PH.D.
Dalam sidang terbuka, Herry menguraikan persoalan di Papua sangat kompleks yang disebabkan oleh lima akar masalah besar, pertama, permasalahan hak asasi manusia, tantangan kesejahteraan yang belum terselesaikan, diskriminasi dan marginalisasi, diskursus mengenai status politik dan etno-nasionalisme yang terus berkembang di dalam negeri maupun luar negeri, dan terakhir yakni kehadiran aparatus di Papua yang masih terlalu besar.
Menurutnya, jika dikaitkan dengan tugas Polri, maka hal di atas persis sebagaimana yang ditegaskan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar Polri mengawal pembangunan di Papua secara proporsional.
"Dengan mengedepankan dialog yang humanis kepada masyarakat, namun tegas terhadap kelompok yang mengganggu keamanan dan ketertiban," ujar Herry, dikutip pada Selasa (5/3/2024).
Dalam disertasinya, Herry melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif sebagai metode penelitian. Alhasil, ia berhasil menemukan permasalahan yang ada sekaligus memberikan masukan.
Masukan pertama, penekanan kesetaraan dalam penegakan hukum melalui berbagai aturan internal Polri seperti Perkap, maklumat, maupun Perkaba diakui telah mengubah prilaku anggota kepolisian menjadi lebih humanistik dan dialogis.
Kedua, restorative justice memungkinkan masyarakat OAP untuk mendapatkan keadilan yang lebih komprehensif dengan berbasis pada kepekaan antropologisnya.
"Ini memberikan ruang yang lebih luas untuk mengurai salah satu akar masalah di Papua, yakni diskriminasi dan marginalitas," ujarnya.
Mantan Dirsidik Densus 88 ini melanjutkan, temuan lain yang juga penting adalah berubahnya wajah pelayanan publik di Papua melalui strategi Binmas Noken dan pelayanan kepolisian sehari-hari (daily service).
Dalam paparannya, Herry menjelaskan, Binmas Noken dan daily service berbasis kesetaraan dan akuntabilitas, memberikan dampak langsung pada penghentian diskriminasi oleh kepolisian kepada OAP, serta menghilangkan perbedaan kualitas layanan antara OAP dan non-OAP.
"Dua dimensi di tersebut, secara tidak langsung juga meningkatkan sensibilitas dan pemahaman anggota kepolisian terhadap Hak Asasi Manusia," kata dia.
Masih dari disertasinya, Herry memiliki beberapa rekomendasi untuk Polri, salah satunya adalah Polri perlu memperluas diskursus Pemolisian Demokratis, yang menjangkau isu-isu seperti peran Polri dalam soal perubahan iklim, kebencanaan, serta pengembangan kebudayaan tradisional.
"Hal tersebut menjadi penting mengingat Pemolisian Demokratis dapat menjadi kerangka kerja yang terbuka bagi berbagai masalah sosial di Papua," katanya.
Sementara itu, Kabaharkam Polri Komjen Fadil Imran dalam nasihat akademiknya berpesan kepada Herry untuk selalu memajukan disiplin ilmu yang menjadi titik pijak dalam meraih gelar doktornya dan mengerjakan beban akademis untuk selalu melakukan pengabdian untuk masyarakat luas.
Menurut Komjen Fadil, polisi ini itu tidak cukup hanya dengan memiliki kemampuan teknis dan leadership. Seorang pemimpin Polri yang paripurna itu harus memiliki background akademis serta knowledge yang memadai selain kemampuan dan kematangan religius.
"Saya selalu bilang kalau mau menjadi pimpinan Polri yang memiliki daya saing dia harus memiliki minimal lima, yakni memiliki kemampuan teknis, leadership, kematangan religius, kemudian knowledge komunikasi yang baik, dan jaringan sosial yang kuat," ujarnya.