REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Perusahaan rental mobil terkenal, Hertz terus dilanda masalah dan kekacauan. Perusahaan ini baru saja mengumumkan bahwa CEO yang membantu membangun armada kendaraan listriknya, Stephen Scherr, mengundurkan diri.
Scherr merupakan CEO kelima perusahaan dalam empat tahun terakhir. Mantan chief operating officer Delta Air Lines dan unit Cruise General Motors, Gil West akan menggantikannya. Perusahaan telah mengalami tekanan berat, terutama terkait penjualan besar-besaran kendaraan listriknya, yang mencapai 20 ribu unit pada Januari.
Pada kuartal terakhir, Hertz mengalami kerugian sebesar 245 juta dolar AS (sekitar Rp 3,8 triliun) karena penurunan nilai kendaraan listriknya. Meskipun permintaan akan kendaraan listrik di pasar AS meningkat 40 persen pada tahun lalu, penurunan harga yang dilakukan oleh pemain besar seperti Tesla telah menurunkan nilai kendaraan baru dan bekas, termasuk yang ada di armada Hertz.
Namun, masalah Hertz tidak semata-mata terkait kendaraan listriknya, melainkan bagaimana perusahaan tersebut mengelola armadanya secara keseluruhan. Analisis menyebutkan bahwa "pertunjukan horor" dalam eksekusi dan pemasaran kendaraan listrik oleh Hertz telah merugikan reputasi perusahaan secara signifikan.
“Eksekusi dan pemasaran EV (oleh Hertz) adalah pertunjukan horor secara keseluruhan. Itu adalah mata hitam yang tidak dapat mereka pulihkan,” kata analis Wedbush Securities yang mengikuti pasar EV, Daniel Ives, dilansir CNN Business, Selasa (19/3/2024).
Salah satu masalah utamanya adalah kurangnya infrastruktur pengisian daya yang memadai, yang membuat pelanggan enggan menyewa kendaraan listrik karena kesulitan dalam mengisi daya. Meskipun Hertz berharap untuk menarik investor dengan janji menjadi pemimpin dalam mengadopsi kendaraan listrik, rencana ambisius mereka belum sepenuhnya terwujud.
Pada Oktober 2021, Hertz mengumumkan rencana pembelian 100 ribu kendaraan listrik dari Tesla, yang diharapkan akan menarik investor dan meningkatkan harga sahamnya. Namun, rencana ini tidak berjalan lancar, dan Hertz hanya berhasil mengakuisisi 60 ribu kendaraan listrik sebelum memutuskan mundur.
Masalah Hertz tidak hanya terbatas pada kendaraan listrik. Pada Desember 2022, perusahaan setuju untuk membayar 168 juta dolar AS (sekitar Rp 2,6 triliun) untuk menyelesaikan 364 klaim terkait pelaporan mobil sewaan yang salah sebagai barang curian. Kasus-kasus ini berujung pada penangkapan dan penahanan beberapa pelanggan Hertz.
Meskipun memiliki sejarah panjang sebagai pemimpin di industri persewaan mobil, Hertz kini berada di bawah tekanan besar. Dengan pendapatan yang terus menurun 22 persen dan masalah manajemen yang persisten, tantangan untuk memperbaiki reputasi dan kinerja perusahaan ini semakin besar.