REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) memprotes mahalnya uang kuliah tunggal (UKT) di kampus masing-masing pada momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Besaran UKT yang dinilai semakin tidak terjangkau tentu memberatkan mahasiswa.
“Maraknya protes mahasiswa terhadap besaran UKT yang ditetapkan kampus harus direspons serius. Pihak kampus harus berani menyampaikan secara terbuka unit cost penentu besaran UKT dan klasifikasi penentu golongan UKT mahasiswa kepada publik. Kemendikbudristek pun harus berani memveto usulan besaran UKT yang diajukan PTN jika dinilai memberatkan mahasiswa,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dalam keterangannya, Sabtu (4/5/2023).
Untuk diketahui, mahasiswa yang tergabung dalam Forum Advokasi Universitas Gajah Mada (UGM) melakukan aksi di Hari Pendidikan Nasional. Dalam aksi yang digelar Balairung UGM tersebut mereka menyampaikan hasil jajak pendapat yang menyebut 70 persen mahasiswa UGM merasa keberatan membayar UKT.
Sebelumnya aksi serupa juga dilakukan mahasiswa Unsoed yang memprotes kenaikan UKT bagi mahasiswa baru hingga kemudian kenaikan UKT tersebut dibatalkan pihak rektorat. Protes mahasiswa terhadap mahalnya UKT diketahui sering terjadi di berbagai kampus, khususnya PTN-BH sejak beberapa tahun terakhir.
Huda mengatakan, PTN maupun Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) memang berhak menaikkan UKT bagi mahasiswa. Kendati demikian, pihak kampus tak bisa sembarangan dalam menentukan besaran UKT. Menurut Huda, ada ketentuan yang harus dipatuhi PTN maupun PTN-BH sebelum menetapkan kenaikan UKT mahasiswa.
“Ada indikator-indikator yang mempengaruhi besaran UKT seperti tingkat pendidikan, jenis bidang studi, lokasi kampus, hingga fasilitas penunjang pendidikan yang dibutuhkan. Namun di atas semua itu penentuan UKT harus mempertimbangkan keterjangkauan biaya pendidikan masyarakat dari semua kalangan,” katanya.
Dari indikator-indikator tersebut, lanjut Huda, akan bisa dinilai apakah kenaikan UKT yang ditetapkan oleh PTN maupun PTN-BH wajar atau tidak wajar. Termasuk kenaikan UKT dari Universitas Jenderal Soedirman.
“Pihak kampus juga harus berani menyampaikan alasan kenaikan UKT didasarkan pada indikator-indikator yang diatur dalam Permendikbud 25/2020 kepada publik. Dengan demikian peserta didik maupun masyarakat tidak terjebak pada kecurigaan adanya komersialisasi pendidikan di lingkungan pendidikan kita,” katanya.
Huda mengungkapkan, polemik UKT di Unsoed Purwokerto maupun di UGM ini menjadi bukti jika biaya pendidikan tinggi memang masih menjadi masalah besar bagi mayoritas peserta didik di Indonesia. Maka wajar jika saat ini angka partisipasi kasar pendidikan tinggi kita masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, atau bahkan Thailand.
“Besarnya biaya memang masih menjadi tantangan besar bagi terbukanya akses pendidikan tinggi bagi masyarakat dari semua kalangan. Ini harus menjadi catatan penting bagi evaluasi sistem pendidikan nasional kita,” katanya.
Politikus PKB ini menilai, perlu ditelaah lebih jauh sebenarnya apa faktor-faktor yang menjadikan biaya pendidikan tinggi di Indonesia sedemikian besar dan bagaimana kemampuan keuangan negara dalam menghadapinya. Saat ini anggaran pendidikan kita dalam setahun lebih dari Rp 600 triliun.
“Apakah besaran anggaran tersebut manajemen pengelolaannya sudah benar ataukah memang perlu penajaman-penajaman prioritas alokasi anggaran sehingga bisa menekan biaya UKT dari mahasiswa kita,” kata Huda.