Ahad 19 May 2024 13:32 WIB

Soal Kasus Pungli Rutan, ICW Sindir Masalah Status ASN Pegawai KPK

Dewas KPK dinilai tak bisa langsung memecat karena harus lewat Inspektorat.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Teguh Firmansyah
Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) angkat bicara mengenai pemecatan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terlilit perkara pungutan liar (pungli) di rumah tahanan (rutan) KPK. Pemecatan itu diputuskan KPK karena mereka terbukti memeras tahanan di Rutan Cabang KPK.

"Peristiwa pungli berjamaah itu memperlihatkan sumber masalah utama karena revisi UU KPK," kata Kurnia kepada Republika yang dikutip pada Ahad (19/5/2024). 

 

Lewat revisi UU KPK pada 2019, Kurnia menyebut perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) membuat mereka terikat aturan kepegawaian ASN. Salah satu akibatnya membuat Dewan Pengawas (Dewas) KPK seperti macan ompong karena tak bisa langsung memecat pegawai KPK bermasalah. 

 

"Sebelum (pegawai KPK) jadi ASN, Dewas bisa langsung berhentikan tidak hormat, tapi sekarang proses lama harus lewat inspektorat. Putusan etik Dewas yang saat ini sanksinya minta maaf terbuka saja," ujar Kurnia. 

 

Sebelumnya, praperadilan Ahmad Fauzi ditolak hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Agung Sutomo Thoba pada 8 Mei 2024. KPK lantas diminta oleh PN Jaksel untuk melanjutkan perkara yang menjerat Fauzi. 

 

Praperadilan tersebut menyangkut keberatan Fauzi atas penetapan tersangka dalam kasus dugaan pungli di rutan KPK. Fauzi menilai KPK tak memeriksanya sebagai saksi sebelum diberikan status hukum tersebut.

 

Majelis tunggal memandang cara KPK menyidik kasus itu sudah berdasarkan dengan aturan yang berlaku. Lembaga Antirasuah juga sudah memiliki kecukupan bukti untuk menetapkan Ahmad sebagai tersangka.

 

KPK sudah memecat 66 pegawai yang terbukti menerima pungli di rutan.

Pemecatan mengacu pada hukuman berat dalam disiplin pegawai negeri sipil (PNS) yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) huruf C pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021.

 

Keputusan pemecatan dikeluarkan pada 17 April 2024. Kebijakan itu baru berlaku setelah 15 hari dari vonis diberikan.

 

Di sisi lain, KPK mengungkap sebanyak 15 tersangka pungutan liar (pungli) di rumah tahanan (rutan) KPK sendiri akan dibawa ke ranah pidana. 

 

Sebanyak 15 tersangka yaitu Kepala Rutan KPK Achmad Fauzi dan pegawai negeri sipil (PNS) Pemprov DKI Jakarta Hengki. Lalu ada enam pegawai negeri yang ditugaskan (PNYD) di KPK Deden Rochendi, Sopian Hadi, Ristanta, Ari Rahman Hakim, Agung Nugroho, dan Eri Angga Permana.

 

Sedangkan tujuh orang lainnya ialah petugas pengamanan Rutan cabang KPK yaitu Muhammad Ridwan, Suparlan, Ramadhana Ubaidillah A, Mahdi Aris, Wardoyo, Muhammad Abduh, dan Ricky Rachmawanto. Semua tersangka ditahan di Rutan Polda Metro Jaya. 

 

Tercatat, pungli ini terjadi mulai 2019 hingga 2023. KPK mengestimasi uang haram yang diraup para pegawai mencapai Rp6,3 miliar.

 

Para tersangka ini disebut KPK melanggar Pasal 12 huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement