REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII di Bangka Belitung telah menghasilkan panduan hubungan antarumat beragama berupa Fikih Salam Lintas Agama. Hasil ijtima ini mendapat respons luas dari publik.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan, pihaknya belum mengkaji dan membahas secara intens masalah salam lintas agama dalam berbagai forum resmi yang ada di lingkungan jam'iyyah tersebut. Hal itu disampaikan Katib 'Aam PBNU, KH Akhmad Said Asrori.
Karena belum ada kajian resmi, lanjut Kiai Said Asrori, maka belum ada mandat yang diberikan kepada pengurus untuk berbicara terkait salam lintas agama. Jadi, PBNU belum menugaskan satu orang pun untuk berbicara secara resmi atas nama organisasi.
“PBNU tidak menugaskan dan tidak memberikan mandat kepada siapapun di lingkungan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, untuk berbicara ataupun menyampaikan pandangan tentang salam lintas agama,” ujar Kiai Akhmad Said Asrori, seperti dikutip Republika dari siaran pers yang diterima di Jakarta, Ahad (2/6/2024).
Berdasarkan penelusuran, kajian dan pembahasan tentang salam lintas agama, selain hasil Ijtima' Ulama, pernah dilaksanakan oleh Pengurus Wilayah NU Provinsi Jawa Timur. Kajian itu dilakukan melalui forum Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur pada 2019.
Dalam kesimpulan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur pada 2019, disebutkan pejabat Muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat "assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh", atau diikuti dengan ucapan salam nasional.
Ujaran-ujaran, seperti "selamat pagi", "salam sejahtera bagi kita semua", dan semisalnya, itu dapat digolongkan sebagai salam nasional.
"Namun demikian, dalam kondisi dan situasi tertentu demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan, pejabat Muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama," kata dia.