REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Hingga kini tetap marak perdebatan mengenai masa depan pemerintahan RI, antara sistem otonomi daerah dan sistem federasi, di tengah-tengah keemohan daerah-daerah terhadap sistem sentralisme selama ini. Lepas dari maraknya beda pendapat mengenai sistem pemerintahan masa mendatang itu, rupanya beda pendapat ini pernah terjadi pada awal-awal pembentukan negara. Tidak tanggung-tanggung antara Bung Karno dan Bung Hatta, yang pada 17 Agustus 1945 bersama-sama memproklamirkan kemerdekaan RI. Masalah perbedaan ini, dikemukakan sendiri oleh kedua tokoh nasional dan bapak bangsa itu.
”Saya pernah bertanya kepada Bung Karno, apa bedanya ia dengan Bung Hatta,” demikian Solichin Salam dalam bukunya Soekarno-Hatta yang diterbitkan Pusat Studi dan Penelitian Islam. ”Saya unitaris, Hatta federalis,” jawab Bung Karno singkat.
Setelah itu, Solichin mewawancarai Bung Hatta. ”Berbicara tentang bentuk negara Indonesia yang dicita-citakan sebelum Indonesia merdeka, saya tanyakan kepada Bung Hatta kenapa ia waktu itu cenderung pada bentuk negara federal dari negara kesatuan.”
Jawab Bung Hatta: ”Saya cenderung kepada bentuk Negara Federal karena melihat contoh negara-negara besar waktu itu, seperti Amerika Serikat atau Uni Soviet yang semuanya berbentuk federal.” Tetapi sekalipun beda pendapat, sebagai seorang demokrat Bung Hatta tetap tunduk dan patuh kepada keputusan suara terbanyak, memilih Negara Kesatuan RI.
Bung Karno pada masa demokrasi terpimpin sering mengkritik hasil Konperensi Medja Bundar (KMB) di Den Haag di mana delegasi Indonesia dipimpin diwakili oleh Bung Hatta. Sebagai hasil KMB akhir Desember 1949, Indonesia dan Belanda menyetujui pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS), yang berbentuk negara federal. Menurut Bung Karno, akibat kompromi-kompromi mental inilah yang mengakibatkan memburuknya keadaan pada 1950-1962.
Kedua proklamirkan kemerdekaan ini bahkan mengakui beda pendapat dan pendirian terjadi sejak tahun 1930-an saat keduanya menggerakan perjuangan kemerdekaan. ”Hatta berlainan sekali denganku dalam sifat dan pembawaan,” kata Presiden Sukarno dalam bukunya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karangan Cindy Adams. Tapi, Bung Karno sendiri, termasuk pada masa jayanya PKI tetap memuji Bung Hatta selama perjuangannya itu.
Dalam perjuangan di masa itu, menurut Bung Karno, Hatta menekankan pada kader-kader, sedangkan ia lebih memilih mendatangi secara langsung rakyat jelata dan membakar hati mereka seperti yang selama ini dilakukannya. Menurut Bung Karno, cara yang dilakukan Hatta memerlukan waktu sangat lama dan ‘baru tercapai bila dunia kiamat’.
Tapi Hatta tetap pada pendirian melakukan perjuangan melalui pendidikan praktis kepada rakyat. Cara ini, menurutnya lebih baik dari atas dasar daya tarik pribadi seorang pemimpin seperti yang dilakukan Bung Karno. Hingga apabila pimpinan atasan tidak ada, praktis tetap berjalan dengan pimpinan bawahan. Karena selama ini, kata Hatta waktu itu, kalau Sukarno tidak ada, praktis partai tidak berjalan.
I Wangsa Widjaya, dalam buku Mengenang Bung Hatta, menulis, di balik perbedaan yang ada antara kedua tokoh nasional ini, ada sesuatu yang sangat unik. ”Antara Bung Karno dan Bung Hatta telah terjalan satu hubungan yang amat akrab sehingga orang menyebutnya dwitunggal.” Sikap erat kedua tokoh nasional Indonesia ini, sudah ditampakkan pada masa pendudukan Jepang. Bahkan, pada 17 Agustus 1945, saat Bung Karno didesak oleh para pemuda untuk memproklamirkan kemerdekaan, ia menolak sebelum Bung Hatta datang.
Memang kemudian dwitunggal itu tidak berfungsi lagi dengan pengunduran diri Bung Hatta sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956. Karena terjadi beberapa perbedaan prinsipil antara keduanya. Hatta tidak sependapat dengan Bung Karno bahwa revolusi belum selesai dan agak mengenyampingkan pembangunan. Ia berpendapat revolusi sudah selesai dengan tercapainya kermerdekaan.
Menurut Wangsawidjaya, yang waktu itu menjadi sekretaris pribadi Bung Hatta, orang nomor dua di Indonesia ini meletakkan jabatan bukan hanya dikarenakan Bung Karno yang tindakannya sering menyimpang. Terutama, karena keadaan pemerintahan dewasa itu (1950-1958). Saat parpol saling menyerang dan bertengkar secara tidak sehat, karena condong bersikap sebagai orang partai daripada negarawan. Sedang partai yang berkuasa lebih mementingkan politik dan aspirasi partainya katimbang kepentingan bangsa dan negara.
Sekalipun sudah tidak lagi sebagai wakil presiden, tapi perhatian Bung Hatta terhadap nusa dan bangsa tetap besar. Ketika pecah pemberontakan PRRI ia berupaya sekuat tenaga mengusahakan perdamaian antara pusat dan daerah. Indonesia, katanya, tidak boleh pecah, malah harus memperkuat persatuan.
”Empat kali saya berupaya menghalang-halangi (pemberontakan PRRI-pen.), tapi tidak berhasil. Saya tegaskan bahwa tindakan itu akan mencapai sebaliknya dari yang dimaksud, akan menghancurkan apa yang telah dibangun dengan usaha sendiri serta menjadikan Sumatera Barat sebagai padang dilajang gajah, dan last but not least memperkuat semangat diktatur di kalangan pemerintahan.” (Solichin Salam: Sukarno – Hatta).
Hatta sendiri, kepada Solichin menceritakan bagaimana akrabnya ia dan Bung Karno waktu itu. ”Hingga tiap surat yang akan ditandatanganinya ditolak sebelum ada paraf saya. Dan tiap keputusan yang saya ambil Bung Karno selalu menyetujuinya.”
Sedangkan Wangsa, yang menjadi sekretaris pribadi Bung Hatta hingga tokoh ini meninggal dunia menyatakan, sekalipun sering terjadi beda pendapat tapi keduanya tidak pernah saling mendendam. Sebagai bukti Bung Hatta tidak dendam pada Bung Karno ialah peristiwa menjelang wafatnya presiden pertama RI ini.
Pada 19 Juni 1970, atau dua hari sebelum Bung Karno wafat, Bung Hatta dan Wangsawidjaja mengunjungi RSPAD Gatot Subroto untuk menjenguk Bung Karno. Setelah sebelumnya mereka dapat kabar dari Mas Agung (Dirut PT Gunung Agung), bahwa Bung Karno dalam keadaan gawat. Sakitnya Bung Karno ini memang sangat dirahasiakan pemerintah. Karena itulah, Hatta sebelum membesuknya harus minta izin terlebih dulu kepada Pak Harto melalui Sekmil Jenderal Tjokropranolo.
Sesampainya Bung Hatta dan sekretarisnya ke RSPAD mereka mendapatkan bahwa Bung Karno sudah tidak sadarkan diri. ”Saya melihat Bung Hatta begitu sedih melihat keadaan Bung Karno,” tulis Wangsawidjaja. Tapi untungnya tidak lama kemudian Bung Karno siuman.
”O o Hatta, kau ada di sini. Kau juga Wangsa,” ujar Bung Karno perlahan. ”Sebenarnya masih ada ucapan lisan yang dikatakan oleh Bung Karno kepada Bung Hatta. Tetapi, saya tidak tahu persis, karena ucapan Bung Karno terlalu pelan,” tutur Wangsa.
Dan itulah pertemuan terakhir dua bapak bangsa, yang selama puluhan tahun berjuang untuk mencapai kemerdekaan, tanpa peduli harus masuk dan keluar penjara dan diasingkan ke berbagai tempat. ”Suatu pertemuan yang amat mengharukan antara dua orang sahabat,” demikian tulis Wangsawijaya.
Beberapa hari sebelum Bung Karno meninggal dunia, berita sakitnya itu dilaporkan oleh Ali Moertopo, Aspri Presiden kepada Pak Harto di Bina Geraha. Rupanya, waktu itu Ali Moertopo masih menunjukkan ketidaksenangannya kepada Bung Karno. ”Kalau ia meninggal pun saya tidak regret,” katanya kepada pers.