Rabu 22 Jun 2016 06:45 WIB

Hatta, Opsir Jepang, dan Pencabutan Tujuh Kata di Piagam Jakarta

Red: Muhammad Subarkah
Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
Foto:
Mohamad Hatta bersama Sukarno di Yogyakarta pada 21 Desember 1949.

Maka untuk menjelaskan persoalan tersebut, tiga orang diutus menghadap Bung Hatta sore itu. Isinya, menyampaikan alasan perubahan yang dikemukakan wakil-wakil dari Indonesia timur. Ketiga utusan mahasiswa itu ialah Piet Mamahit, Moeljo, dan Imam Slamet yang berpakaian seragam Angkatan Laut Jepang, sehingga orang mengiranya orang Jepang.

"Wajah Imam Slamet seperti orang Cina, badannya pendek, jadi mirip seperti orang Jepang," ujar Lukman.

Terkait soal pertemuan tersebut, dalam buku Lahirnya Satu Bangsa dan Negara juga tercatat: “Lama kemudian ketika Nishijima--yang menurut Hatta meneleponnya--berkunjung ke Jakarta, ia menerangkan bahwa tidak ada orang Jepang, juga dia sendiri, yang datang kepada Hatta untuk membicarakan soal itu. Sejak Proklamasi, tidak ada lagi orang Jepang pergi bertamu di rumah Hatta.”

"Jadi dalam pertemuan dengan utusan mahasiswa dari Prapatan 10 dengan Bung Hatta itu tak ada orang Jepang yang ikut. Bung Hatta salah sangka mengira Imam Slamet sebagai orang Jepang," ungkap Lukman.

Namun sayangnya, tegas Lukman, memoar para aktivis mahasiswa Ika Daigaku yang berisi keterangan tentang peristiwa penting di sekitar hilangnya tujuh kata tersebut terbit beberapa tahun sesudah Bung Hatta wafat sehingga tokoh yang dikenal jujur dan cermat itu tidak bisa melakukan klarifikasi.

Maka peristiwa 18 Agustus 1945 beserta suasana yang menjadi latar belakang sebagian di antaranya masih tetap menjadi misteri dan pertanyaan sejarah sampai sekarang.

"Misteri yang sama juga ada pada soal pidato M Yamin di sidang BPUPKI yang juga mengungkap soal dasar negara. Sebagian tokoh seperti Bung Hatta mengatakan bohong bila Yamin berpidato seperti itu. Namun, ketika pada awal 1960-an Yamin menerbitkan risalah sidang BPUPKI yang memuat pidatonya itu, Bung Karno memberikan kata pengantarnya secara langsung. Di satu sisi, ini menunjukkan Bung Karno membenarkan apa yang ditulis Yamin itu. Jadi, itu juga menjadi misteri," kata Lukman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement