"Kami akan terus hadirkan gugatan demi gugatan kepada Belanda, menyibukkan mereka untuk terus membayar ganti rugi, semampu kami, sampai semua korban pembantaian merasa mendapat keadilan," ujar Jeffry marcel Pondaag dengan suara bergetar, pelan, seperti ada yang tersekat dalam tenggorokannya.
Jeffry membawa gerbong para janda korban pembantaian Belanda 1945-1949 untuk maju ke Pengadilan Sipil di Den Haag sejak 2006. Melalui Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) yang berkedudukan di Heemskerk, Belanda, sejumlah janda telah mendapatkan kompensasi sejak 2011-2013, baik yang berada di Rawagede, Jawa Tengah, maupun janda korban pembantaian 1947 di Sulawesi Selatan. Menurutnya, ini jadi pelajaran penting untuk pemerintah Belanda tentang arti nyawa bangsa Indonesia. Dunia Internasional, kata dia, juga harus tahu bagaimana Belanda pada 1947-1949 melakukan kejahatan terstruktur dan terencana dalam aksi polisional tersebut.
Kendati demikian, Jeffry mengakui bahwa sesungguhnya apa yang dilakukannya tak lebih untuk menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bermartabat. Bangsa yang diketahui telah merdeka pada 17 Agustus 1945, namun dirobek kedaulatannya dengan aksi pembantaian yang dilakukan pada 1947-1949. "Kami menuntut bahwa Belanda harus mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945," tegas Jeffry.
Tuntutan tersebut bukan tanpa alasan. Jeffry mmengutuk sikap Belanda yang hanya mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus secara de facto, namun secara de jure pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia baru pada 27 Desember 1949 pascaperundingan Konferensi Meja Bundar. Artinya jelas, kata dia, jika Belanda mengakui kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, maka artinya negara tersebut mengakui aksi pembantaian merupakan kejahatan yang dilakukan kepada negara berdaulat. Itu juga artinya, pemerintah Belanda harus membayar ganti rugi terhadap puluhan ribu korban pembantaian pasukan elit Belanda, yang di dalamnya mencakup Depot Speciale Troepen (DST) pimpinan Kapten Raymond Westerling. Sebaliknya, kalau Belanda memberikan pengakuan kemerdekaan RI pada 27 Desember 1949, kata dia, Belanda telah membantai warganya sendiri.
Gelombang tuntutan yang dilakukan Yayasan KUKB diakuinya merupakan 'aksi' dalam celah politik agar kehormatan bangsa Indonesia tetap menjadi perhatian serius dunia Internasional. Ini juga yang hanya bisa dilakukan, kata dia, karena tak pernah sekali pun pemerintah Indonesia hadir memberi bantuan. Negara, kata dia, semestinya wajib menunjukkan kehormatan bangsa untuk menagih pengakuan kemerdekaan sebenar-benarnya dari Belanda.
Selain dikabulkannya gugatan para janda Rawagede pada 2011, buah hasil gugatan yang dilakukan KUKB adalah saat pemerintah Belanda akhirnya menyampaikan maaf dan membayar kompensasi kepada tujuh orang janda korban pembantaian Westerling dalam gugatan pengadilan sepanjang 2013-2014. Setahun kemudian, giliran pengadilan mengabulkan gugatan dan meminta pemerintah Belanda memberi kompensasi kepada ahli waris korban pembantaian di Sulawesi Selatan. "Dikabulkannya gugatan para ahli waris di Sulawesi, mendorong kami mengajukan gugatan para ahli waris korban-korban pembantaian di daerah lainnya," ujar Jeffry. Selama Belanda, secara de jure masih berpegang kepada keegoisannya mengakui kemerdekaan RI pada 27 Desember 1949, kata dia, kejahatan yang mereka lakukan tidak akan mengenal kedaluwarsa.
Bersambung..
Baca: 69 Tahun Tragedi Rawagede: Prof Liesbeth: Pintu Gerbang Menuju Kasus Lebih Besar (Bagian 5)