Sabtu 15 Jun 2024 13:33 WIB

Apa yang Harus Dilakukan Jamaah Pasutri Saat Telanjur Berhubungan Ketika Puncak Haji?

Apabila suami istri melakukan jima sebelum tahalul kedua maka haji keduanya batal.

Red: A.Syalaby Ichsan
Suasana Pemondokan Jamaah Haji di Arafah
Foto:

Apabila jima’ dilakukan setelah tahalul pertama, maka hajinya tidak batal dan tidak wajib qadha’, namun harus membayar kifarat dengan satu ekor unta masing-masingnya. Jikalau sang istri sudah tahalul pertama, sedangkan suami masih ihram, maka si istri tidak diwajibkan apa-apa dan suami hanya wajib membayar kifarat untuk dirinya sendiri.

Kalau orang yang sedang ihram mencium istrinya tapi tidak sampai keluar mani, maka hajinya tidak batal, namun harus membayar kifarat yaitu seekor kambing. Ada yang berpendapat kalau ciuman itu diikuti dengan nafsu, maka kifaratnya beberapa ekor kambing. Bila tidak diikuti dengan nafsu, maka cukup dengan satu ekor kambing saja. Kalau sampai keluar mani, hajinya tetap sah tapi harus membayar kifarat dengan satu ekor unta.

Jadi, dapat diketahui bahwa jima’ pada masa pelaksanaan ibadah haji dapat membatalkan ibadah haji tersebut dan pelakunya harus membayar kifarat sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Makna kata “la rafatsa” pada surat Albaqarah ayat 197 yang telah disebutkan sebelumnya adalah jangan melakukan segala kegiatan yang mengarah kepada melakukan jima’, baik ciuman, belaian maupun ucapan-ucapan yang membangkitkan nafsu syahwat, termasuk melakukan jima’ itu sendiri.

Adapun jima’ yang dilakukan bukan dengan istri (zina), akibatnya terhadap hajinya juga sama dengan melakukan jima’ dengan isteri. Pelaku zina diberi hukuman had sebagaimana yang diatur dalam hukum pidana Islam. Ketentuan hukumannya adalah didera seratus kali bagi pelaku yang belum menikah (ghairu muhshar) dan dirajam (dilempar dengan batu yang sederhana besarnya sampai mati) bagi pelaku zina yang telah atau pernah menikah (muhshan).