Kamis 20 Jun 2024 05:00 WIB

Ibnu Abbas Jawab Argumentasi Kaum Ekstremis

Ibnu Abbas adalah seorang sahabat Nabi yang alim.

Sahabat Nabi (ilustrasi)
Foto: Dok Republika
Sahabat Nabi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abdullah bin Abbas atau Ibnu Abbas merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW yang "junior" bila diukur dari perspektif usia. Ia lahir tiga tahun sebelum hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah. Saat beliau wafat, Ibnu Abbas masih berusia 13 tahun.

"Ya Allah, ajarilah anak ini hikmah," demikian doa Nabi SAW sembari memeluk sepupunya itu. Ibnu Abbas kecil pernah diusap kepalanya dan didoakan oleh beliau. "Ya Allah, anugerahilah pemahaman agama kepadanya," kata Rasulullah SAW mendoakannya.

Baca Juga

Ketekunan Ibnu Abbas dalam menuntut ilmu-ilmu agama diakui banyak pihak. Bahkan, ia dijuluki sebagai “tinta umat” oleh para sahabat yang senior. Khalifah Umar bin Khattab hampir selalu mengundang pemuda tersebut untuk ikut berdiskusi bersama para penasihatnya yang lain dalam membahas persoalan agama dan umat.

Khalifah Umar wafat beberapa saat sesudah ditusuk oleh seorang Majusi. Kepemimpinannya digantikan oleh Utsman bin Affan.

Namun, prahara terjadi di ujung masa pemerintahan sang Dzun Nurain. Bahkan, Khalifah Utsman kemudian syahid karena dibunuh kelompok pemberontak.

Sesudah itu, Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah. Di antara kebijakannya adalah memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufah (Irak). Sebab, ia ingin menjauhkan bara konflik politik dari kota suci.

Di Irak, muncul kelompok yang memiliki ideologi ekstremis. Mereka pada awalnya sangat fanatik mendukung Khalifah Ali bin Abi Thalib, sampai-sampai secara total memusuhi kubu Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Gubernur Syam tersebut menolak pemerintahan Ali.

Kemudian, arbitrase (tahkim) terjadi antara pihak Ali dan Mu’awiyah. Ternyata, perwakilan Mu’awiyah dapat mengatasi argumentasi utusan sang khalifah. “Kegagalan” di tahkim membuat para fanatikus pro-Ali bin Abi Thalib keluar (kharaja) dari sikap awalnya. Kini, mereka justru amat memusuhi Ali--dan Mu'awiyah sekaligus. Orang-orang inilah yang kemudian dinamakan sebagai kaum Khawarij.

Seperti diceritakan Ibnu al-Jauzi dalam sebuah bukunya, terjadilah dialog antara Ibnu Abbas dan kaum Khawarij. Sepupu Rasulullah SAW ini berpendapat mengenai kelompok ekstremis tersebut.

Katanya, “Belum pernah kujumpai orang yang sangat bersemangat beribadah seperti mereka. Dahi-dahi mereka penuh bekas sujud, tangan-tangan menebal bak lutut-lutut unta (kapalan). Wajah-wajah mereka pucat pasi karena kurang tidur lantaran menghabiskan malam untuk shalat.”

Semula, orang-orang Khawarij menyambut Ibnu Abbas dengan sangat ramah karena berharap dirinya mau bergabung dengan mereka dalam memusuhi Ali.

Namun, sikap ramah itu hilang begitu sepupu Rasul SAW tersebut menegaskan maksud kedatangannya: menasihati mereka agar tidak memusuhi Ali.

Akhirnya, tiga orang Khawarij bersedia maju untuk mendebat Ibnu Abbas.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement