Sampailah ia di sebuah daerah di Madura. Kiai Syamsul Arifin mendapati kondisi masyarakat setempat yang curiga terhadap pesantren.
Bahkan, penduduk lokal lebih akrab pada perbuatan-perbuatan maksiat, alih-alih dakwah agama Islam. Mereka amat permisif pada berbagai penyakit sosial, seperti perjudian, sabung ayam, dan mabuk-mabukan. Konon, itulah yang menyebabkan desa ini masyhur dijuluki sebagai "kampung maling."
Sebagai seorang dai, Kiai Syamsul Arifin merasa terbebani dosa jika ia ikut membiarkan maksiat merajalela. Akhirnya, alumnus Pesantren Bangkalan ini pun terjun langsung ke tengah masyarakat desa itu untuk berdakwah.
Ia memahami betul cara dakwah yang mesti ditempuh untuk menghadapi orang-orang yang permisif pada kemaksiatan. Pada suatu ketika, Kiai Syamsul Arifin mendengar kabar adanya remongan di desa ini. Acara itu adalah semacam pesta pora, yang sering dihadiri macam-macam pelaku kriminal, semisal penjudi atau garong.
Dengan celurit dan sangkur di pinggang, Kiai Syamsul Arifin pun berjalan menyusuri keramaian di remongan tersebut. Para pengunjung pesta ini terkejut. Sebab, dai tersebut tampil bagaikan seorang jagoan.
Baca di halaman selanjutnya...