REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Saat menjadi panglima perang Diponegoro, Sentot Alibasya bergelar Basya Imam Abdul Kamil Sentot. Usai meraih kemenangan gemilang di Naggulan pada 1828, Sentot diberi gelar baru Radan Basya Prawirodirjo Sentot.
Meski Sentot terus berjuang dan meraih kemenangan, tetap saja kekuatan pasukan Belanda dan pasukan Diponegoro secara umum tidak seimbang. Banyak anggota pasukan Diponegoro yang gugur di medan perang sehingga membuat pasukan Diponegoro lebih banyak bertahan daripada menyerang.
Pada saat demikian, Belanda menggunakan berbagai macam cara untuk mempercepat kekalahan pasukan Diponegoro. Salah satu caranya adalah memberikan janji pemberian wilayah bagi pasukan Diponegoro yang mau menyerah. Selain itu, Belanda menjamin bahwa pasukan yang dipimpin oleh para panglima tetap utuh dan tidak akan dicerai-beraikan. Meski menyerah, mereka akan disambut dan diperlakukan secara hormat dan layak oleh Belanda.
Sejumlah pimpinan pasukan Diponegoro mengetahui bahwa perang ini pada akhirnya akan dimenangkan oleh Belanda juga. Sentot yang ketika itu posisinya jauh dan tercerai-berai dengan Pangeran Diponegoro akhirnya bermusyawarah dengan pasukannya.
Akhirnya, disepakati bahwa Sentot dan pasukannya menyerah. Namun, dengan catatan, wilayah yang akan dikuasai Sentot dan pasukannya nanti akan dipergunakan untuk menanamkan dan meluaskan ajaran Islam.
Pada 24 Oktober 1829, Sentot Alibasya, salah seorang panglima Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro, menyerah. Jenderal De Kock menyambut penyerahannya itu dengan kehormatan militer tertinggi.
Prof Hamka (Buya Hamka) dalam bukunya berjudul Dari Perbendaharaan Lama menuliskan, Belanda mengakui kedudukan Sentot sebagai panglima perang. Tidak diganggu gelar Basya dan Senopati milik Sentot.
Setelah ia menyerah, Belanda memberikan konpensasi untuk Sentot, yaitu diberikan harta dan diperlakukan sebagaimana layaknya pangeran-pangeran Jawa yang berdaulat. Namun, Belanda tidak menunaikan janjinya untuk memberikan Sentot kekuasaan wilayah. Padahal, Sentot dan pengikutnya membutuhkan wilayah kekuasaan untuk menanamkan dan menyebarluaskan ajaran Islam.
Pasukan Sentot terdiri atas 1.800 orang yang terlatih dengan baik. Sentot khawatir jika semangat perjuangan pengikutnya menjadi kendor. Mereka adalah santri yang kuat beribadah. Semuanya memakai surban dan jubah putih.
Pada saat yang sama, Perang Paderi berkecamuk di Minangkabau, Sumatra. Di sinilah Belanda kembali memainkan strategi devide et impera-nya atau memecah belah.
Belanda memfitnah Pasukan Paderi pimpinan Tuanku Imam Bonjol dengan sebutan sebagai kaum yang menganut paham yang sesat dan merusak Islam. Dikatakan kepada Sentot bahwa Belanda memerangi kaum Paderi itu untuk melindungi kaum Islam yang cinta damai di bawah sultannya di Pagaruyung.
Belanda menjanjikan kepada Sentot, kalau mau ikut memerangi kaum Paderi itu, ia akan diberikan satu daerah yang luas dan menjadi wilayah kekuasaannya. Daerah yang dijanjikan adalah suatu wilayah di Minangkabau, yaitu di daerah bernama XIII Koto. Adapun pangkat yang kelak akan diberikan setingkat Mangkunegoro di Pulau Jawa.
Sentot pun menerima tawaran itu. Namun, Gubernur Jenderal Belanda di Batavia mengirim surat rahasia kepada residen militer dan sipil di Padang supaya dijaga, jangan sampai ada hubungan kaum Paderi dengan Sentot.