Selasa 02 Jul 2024 08:22 WIB

Pelajaran Kematian Zhang Zhi Jie, Mendesaknya Pengetahuan Kegawatdaruratan dan Alat AED

Automated External Defibrillator (AED) wajib digunakan tenaga medis di event olahraga

Ucapan duka cita dari PBSI atas meninggalnya Zhang Zhi Jie.
Foto: dok PBSI
Ucapan duka cita dari PBSI atas meninggalnya Zhang Zhi Jie.

Oleh: Israr Itah, wartawan Republika.co.id.

REPUBLIKA.CO.ID, Pengurus Pusat (PP) Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) mendapat sorotan tajam saat menggelar Badminton Asia Junior Championships 2024. Penyebabnya, atlet bulu tangkis tunggal putra China, Zhang Zhi Jie, meninggal setelah kolaps ketika bertanding di GOR Amongrogo Yogyakarta, Ahad (30/6/2024) malam.

Baca Juga

Video detik-detik tumbangnya Zhang serta respons tim medis kejuaraan beredar di media sosial. Mayoritas menyayangkan tenaga medis yang lamban bereaksi serta penanganan pertama yang dinilai kurang maksimal.

Namun PP PBSI sebagai panitia pelaksana menyatakan mereka telah bekerja sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku di setiap turnamen bulu tangkis internasional dari BWF dan Badminton Asia. Yakni, tenaga medis baru bisa masuk ke lapangan setelah mendapatkan tanda dan izin dari wasit pertandingan.

Humas dan Media Panpel PBSI Broto Happy saat konferensi pers di Kantor KONI DIY, Yogyakarta, Senin (1/7/2024), mengakui penanganan memang harus lebih cepat lagi bila terjadi keadaan darurat. Ia mengatakan, aturan itu harusnya bisa diperbaiki demi keselamatan atlet dan juga untuk kebaikan bagi seluruh pemain yang bertanding, bahwa tim medis tak perlu menunggu isyarat referee jika ada situasi emergensi.

Karena itu, ia mengatakan aturan tertulis dalam SOP yang menyatakan tim medis tidak bisa masuk ke lapangan sebelum ada call dari referee harus dikaji ulang. PP PBSI, kata Broto, akan membawa kasus ini ke BWF demi kebaikan dan keselamatan atlet pada masa mendatang.

Saya sepakat soal ini. Kebaikan dan keselamatan atlet seharusnya nomor satu. Kegiatan apa pun, utamanya olahraga, semestinya menghindarkan melayangnya nyawa manusia. Maka dari itu, saya ada di barisan orang-orang yang mendorong perubahan aturan di BWF perihal kegawatdaruratan.

Tak cuma itu, prosedur penanganan atlet juga harus diperhatikan lebih detail lagi agar tak lagi memakan korban. Sebab, secara kasat mata, alat penunjang untuk pertolongan pertama kegawatdaruratan dalam kasus Zhang tidak maksimal. Saya tak bisa mengomentari kredibilitas, kecekatan, dan ketepatan tenaga medis memberikan pertolongan karena di luar kapasitas saya.

Yang pasti tak ada Automated External Defibrillator (AED), perangkat portabel yang berfungsi untuk membantu orang yang mengalami henti jantung, dalam penanganan Zhang. AED menganalisa irama jantung secara otomatis. Ia akan menilai perlu tidaknya memberikan sengatan listrik melalui dada ke jantung.

Jika diperlukan, AED akan memberikan instruksi untuk tenaga medis mengikuti panduannya untuk mengembalikan irama jantung, yang akan sangat membantu dalam kasus seperti Zhang. Kita masih ingat bagaimana nyawa pesepak bola Denmark Christian Eriksen, yang kolaps saat berlaga di Euro 2020, terselamatkan dengan pertolongan petugas medis yang cekatan dan dibantu alat-alat mumpuni, di antaranya AED.

Jujur saja, sangat cukup trauma menyaksikan atau mendengar orang yang kolaps ketika atau setelah berolahraga. Sebab, mayoritas tak selamat, meskipun ada yang beruntung masih bisa melanjutkan hidup sampai sekarang.

Pengalaman pertama saya terjadi puluhan tahun lalu, saat masih duduk di sekolah dasar. Saya tak dapat mengingat tahunnya, tapi kejadiannya berlangsung di Lapangan Merdeka, Binjai, kota kelahiran saya. Di Jawa, Lapangan Merdeka mungkin bisa disebut alun-alun, tempat berkumpulnya orang-orang untuk bermain ataupun berolahraga.

Saat itu...

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement