REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa penuntut umum (JPU) KPK menegaskan pembelaan terdakwa mantan menteri pertanian Syahrul Yasin Limpo (mentan SYL) yang memakai bahasa puitis sembari menangis tak akan menghapus sanksi pidananya. SYL didakwa di kasus dugaan pemerasan dan penerimaan gratifikasi di Kementerian Pertanian (Kementan).
"Drama pembelaan yang disampaikan oleh terdakwa dengan bahasa yang puitis dan wajah yang menangis, tidaklah menghapus pidana yang didakwakan penuntut umum," kata JPU KPK Meyer Simanjuntak ketika membacakan replik dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada Senin (8/7/2024).
Pembelaan yang puitis itu disebut Meyer tak akan membuat hilangnya fakta persidangan soal perbuatan korupsi yang dilakukan SYL ketika menjabat mentan. "Tidaklah membuat kita semua jadi lupa akan fakta persidangan yang terang benderang berisi perbuatan perbuatan koruptif yang begitu merajalela yang dilakukan oleh terdakwa pada sata menjabat sebagai menteri pertanian," ujar Meyer.
Oleh karena itu, JPU KPK memandang tuntutan 12 tahun penjara terhadap SYL sudah adil. Pasalnya, banyak pertimbangan meringankan di baliknya. Hanya saja, SYL dan kuasa hukumnya tak menyadari hal itu.
Tapi mereka justru merasa tak bersalah dan meminta dibebaskan dengan dalih semua yang dilakukannya semata untuk kepentingan dinas. "Tuntutan 12 tahun penjara, rasanya sudah adil dengan harapan dapat diterima oleh terdakwa dan terdakwa dapat bertaubat serta memperbaiki diri setelahnya," ujar Meyer.
Sebelumnya, SYL dituntut pidana penjara 12 tahun dan denda Rp 500 juta subsider pidana kurungan enam bulan. SYL juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 44,2 miliar dan ditambah 30 ribu dolar AS dikurangi dengan jumlah uang yang telah disita dan dirampas.
JPU KPK menyatakan SYL terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Perbuatan itu dinilai melanggar Pasal 12 huruf e juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.