REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kunjungan sejumlah cendekiawan Nahdliyin ke Israel di tengah pembantaian yang dialami warga Jalur Gaza menuai kecaman. Terlebih lagi, mereka tidak sekadar berkunjung, melainkan juga sowan atau menghadap Presiden Israel, Isaac Herzog.
Belum diketahui persis, kapan lawatan kelima orang Indonesia itu ke Negeri Zionis. Bagaimanapun, berdasar informasi yang berhasil dihimpun Republika, mereka berada di Israel selama pekan lalu.
Sulit untuk menampik konteks kunjungan demikian dengan Hasbara, yakni strategi yang dipilih Israel untuk membangun citra dirinya sebagai "bukan penjajah." Lebih-lebih, sejak entitas zionis itu mulai melancarkan agresi ke Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023 lalu.
Seperti dilansir dari laman The New Arab, nama strategi propaganda itu diambil dari bahasa Ibrani, Hasbara, yang berarti 'menjelaskan.' Bukan baru-baru ini, perancangannya sudah dimulai sejak awal abad ke-20 M, terutama melalui jejak-jejak pemikiran Nahum Sokolow, seorang aktivis dan jurnalis zionis berkebangsaan Polandia.
Hasbara cenderung menyerupai pelbagai bentuk propaganda politik di era modern. Namun, seiring perkembangan ekspansi Israel di bumi Palestina, praktik-praktik strategi ini terus berubah. Pemerintah Israel sering memanfaatkannya secara kasus per kasus, terutama untuk merekayasa dalih atau pembenaran atas aksi-aksi kolonialnya.
Hasbara menggunakan pelbagai cara untuk membangun citra diri Israel, termasuk dengan memanfaatkan pembuatan konten-konten video, infografis, dan posting di media-media sosial. Walau tak diakui secara terbuka, zionis pun merekrut para influencers yang memiliki banyak pengikut di jagad maya.
Dalam konteks invasi Israel ke Jalur Gaza kini, misalnya. Hasbara digunakan untuk memberikan pembenaran (to justify) serangan militer Israel (IDF) atas area-area yang dihuni penduduk sipil nir-senjata, yang di dalamnya termasuk kaum ibu, anak-anak, dan para bayi. IDF juga menyasar banyak infrastruktur publik yang esensial, semisal jalan raya, akses air bersih, dan tempat-tempat ibadah.
Dengan Hasbara pula, zionis membangun narasi bahwa aksi militer ini terjadi secara "setara." Dalam arti, di satu pihak ada Israel, sedangkan pada pihak lain adalah Hamas. Padahal, berulang-ulang kali Israel menyerang penduduk sipil dengan dalih "menarget" Hamas.
Baca juga: Kecaman PBNU terkait kunjungan 5 tokoh muda Nahdliyin ke Israel
Inilah alasannya IDF secara terus menerus menuding bahwa Hamas menggunakan fasilitas-fasilitas semisal sekolah, rumah sakit, pabrik-pabrik, dan bahkan kamp-kamp pengungsian sebagai basis. Israel juga menuduh Hamas menggunakan tameng manusia (human shields).
Untuk mendukung tuduhan-tuduhan, Israel menampilkan potongan-potongan foto atau video tentang "tawanan" Hamas. Begitu pula dengan gambar-gambar yang diklaim sebagai citra satelit yang memetakan basis-basis Hamas. Padahal, tidak satu pun bukti yang kuat muncul dari semua itu.
Dunia masih ingat ketika Israel memborbardir RS Baptis al-Ahli di Jalur Gaza, yakni pada hari ke-10 sejak dimulainya agresi 7 Oktober 2023. Ratusan pasien dan pengungsi meninggal akibat serangan IDF itu.
Tak lama kemudian, Hasbara bekerja. Mesin propaganda ini dengan cepat menyiarkan klaim IDF, ledakan di RS Baptis al-Ahli "bukan dari roket IDF", melainkan dari roket pasukan Jihad Islam di Palestina (PIJ) yang gagal di udara.
IDF mulanya melansir video yang diklaim membuktikan hal tersebut. Tak lama kemudian, mereka juga mengeluarkan rekaman suara yang tampaknya menunjukkan perbincangan pejuang Hamas bahwa roket yang jatuh di Al-Ahli adalah milik PIJ.
Tak butuh lama, bukti-bukti itu disangkal. Wartawan the New York Times mengungkapkan bahwa video yang awalnya dilansir IDF menunjukkan kejadian yang terjadi 45 menit setelah ledakan. Aljazirah kemudian melakukan analisis yang menunjukkan bahwa video yang ditunjukkan justur memperlihatkan bahwa roket tak mencapai rumah sakit.
The New Arab juga menyimpulkan bahwa rekaman suara yang dilansir IDF tak menggunakan aksen dan idiom yang khas Gaza. Kesimpulan serupa dicapai Channel 4 News dari Inggris, bahwa rekaman yang dilansir Israel tak kredibel secara aksen, dialek, serta sintaksis.
Intinya sederhana, di luar Tel Aviv dan lingkaran sekutunya, tak ada yang memercayai narasi yang mereka bangun. Kebohongan-kebohongan yang berulang dilakukan Israel membuat mesin propaganda mereka mogok. Setelah sekian lama, Hasbara mulai kelihatan usang.