REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bung Karno pernah menyatakan bahwa PBB nyata-nyata menguntungkan Israel dan merugikan negara-negara Arab. Pernyataan itu dikemukakan saat Indonesia keluar dari organisasi dunia tersebut pada 1 Januari 1965.
Konon, warga Yahudi sudah sejak kolonial Belanda banyak berdiam di Indonesia, khususnya di Jakarta. Pada abad ke-19 dan 20 serta menjelang Belanda hengkang dari Indonesia, ada sejumlah Yahudi yang membuka toko-toko di Noordwijk (kini Jl Juanda) dan Risjwijk (Jl Veteran) -- dua kawasan etlie di Batavia kala itu -- seperti Olislaeger, Goldenberg, Jacobson van den Berg, Ezekiel & Sons dan Goodwordh Company.
Mereka hanya sejumlah kecil dari pengusaha Yahudi yang pernah meraih sukses. Mereka adalah pedagang-pedagang tangguh yang menjual berlian, emas dan intan, perak, jam tangan, kaca mata dan berbagai komoditas lainnya.
Sejumlah manula yang diwawancarai menyatakan, pada tahun 1930-an dan 1940-an jumlah warga Yahudi di Jakarta banyak. Jumlahnya bisa mencapai ratusan orang. Karena mereka pandai berbahasa Arab, mereka sering dikira keturunan Arab.
Konon pula, keturunan Yahudi di Indonesia kala itu banyak yang datang dari negara Arab. Maklum, kala itu Israel belum terbentuk. Seperti misal keluarga Musri dan Meyer yang datang dari Irak.
Di masa kolonial, warga Yahudi ada yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan. Termasuk gubernur jenderal AWL Tjandra van Starkemborgh Stachouwer (1936-1942). Kaum Yahudi di Indonesia pun memiliki persatuan yang kuat. Setiap Sabat (hari suci umat Yahudi), mereka berkumpul bersama di Mangga Besar, yang kala itu merupakan tempat pertemuannya.
Menurut majalah Sabili, dulu Surabaya merupakan kota yang menjadi basis komunitas Yahudi, lengkap dengan sinagognya yang hingga kini masih berdiri.
Mereka umumnya memakai paspor Belanda dan mengaku warga negara kincir angin. Pada hari Sabat, warga Yahudi bernyanyi sambil membaca kitab Talmut dan Zabur, dua kitab suci mereka.
Pada 1957, ketika hubungan antara RI-Belanda putus akibat kasus Irian Barat (Papua), tidak diketahui apakah seluruh warga Yahudi meninggalkan Indonesia. Konon, mereka masih terdapat di Indonesia meski jumlahnya tidak lagi seperti dulu.
Yang pasti dalam catatan sejarah Yahudi dan jaringan gerakannya, mereka sudah lama menancapkan kukunya di Indonesia. Bahkan, gerakan mereka disinyalir telah mempengaruhi sebagian tokoh pendiri negeri ini. Sebuah upaya menaklukkan bangsa Muslim terbesar di dunia (Sabili, 9/2-2006).
Dalam buku Jejak Freemason dan Zionis di Indonesia disebutkan bahwa gedung Bappenas di Taman Surapati dulunya merupakan tempat para anggota Freemason melakukan peribadatan dan pertemuan.
Gedung Bappenas di kawasan elite Menteng, dulunya bernama gedung Adhuc Stat dengan logo Freemasonry di kiri kanan atas gedungnya, terpampang jelas ketika itu. Anggota Freemason menyebutnya sebagai loji atau rumah syetan. Disebut rumah setan, karena dalam peribadahannya anggota gerakan ini memanggil arwah-arwah atau jin dan setan, menurut data-data yang dikumpulkan penulisnya, Herry Nurdi.
Freemasonry atau Vrijmetselarij dalam bahasa Belanda masuk ke Indonesia dengan beragam cara. Terutama lewat lembaga masyarakat dan pendidikan. Pada mulanya, gerakan itu menggunakan kedok persaudaraan kemanusiaan, tidak membedakan agama dan ras, warna kulit dan gender, apalagi tingkat sosial di masyarakat.
Dalam buku tersebut disebutkan, meski pada tahun 1961, dengan alasan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, Presiden Sukarno melakukan pelarangan terhadap gerakan Freemasonry di Indonesia. Namun, pengaruh Zionis tidak pernah surut. Hubungan gelap 'teman tapi mesra' antara tokoh-tokoh bangsa dengan Israel masih terus berlangsung.