Rabu 31 Jul 2024 20:46 WIB

Apmhuri Nilai Revisi Undang-undang Penyelenggaraan Haji Mendesak Dilakukan Ini Alasannya

Amphuri mengusulkan perlu dibentuk konsulat jenderal haji agar ada imunitas kebijakan

Red: Arie Lukihardianti
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umroh Republik Indonesia (DPP AMPHURI) Firman M Nur (kiri,red)
Foto: AMPHURI
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umroh Republik Indonesia (DPP AMPHURI) Firman M Nur (kiri,red)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) menilai revisi Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah sangat mendesak dilakukan. Karena, menurut Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Amphuri, Firman M Nur, Undang-undang tersebut sudah tak bisa lagi mengakomodir perkembangan berbagai kebijakan Arab Saudi.

Apalagi, kata dia, saat ini Arab Saudi yang sudah melakukan banyak terobosan. Yakni, mulai dari digitalisasi, penerbitan berbagai visa, hingga perlindungan jemaah. Bahkan, kebijakan Arab Saudi tersebut bisa berpengaruh pada pelayanan ibadah haji mendatang.

Baca Juga

"Kan dengan visi Arab Saudi 2030, bisa melakukan B to C (business to customer). Artinya tak ada lagi batasan, ini bisa mengacaukan sistem yang ada seperti antrian haji, pembagian kuota per wilayah jadi efeknya besar," ujar Firman di sela-sela Munas Amphuri di Bandung, Rabu (31/7/2024).

Firman mengatakan, antrian haji akan terdampak. Tren di Eropa, banyak agen perjalanan yang tutup karena jemaahnya mendaftar langsung melalui aplikasi yang dirilis Arab Saudi. Saat ini, jumlah jamaah haji baru 1,8 juta orang. Namun, enam tahun ke depan menjadi 5 juta atau naik hampir 300 persen.