Rabu 07 Aug 2024 11:06 WIB

Sumpah Pocong Disebut dalam Kasus Vina, Apa Itu dan Bolehkah dalam Islam?

Tantangan sumpah pocong dilayangkan Farhat Abbas kepada Iptu Rudiana.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Sumpah pocong (ilustrasi). Sumpah pocong disebut-sebut dalam kasus pembunuhan Vina. Bolehkah dilakukan menurut ajaran Islam?
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Sumpah pocong (ilustrasi). Sumpah pocong disebut-sebut dalam kasus pembunuhan Vina. Bolehkah dilakukan menurut ajaran Islam?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sumpah pocong disebut-sebut dalam kasus pembunuhan Vina. Dalam kasus ini, sumpah pocong dilayangkan oleh kuasa hukum Saka Tatal, Farhat Abbas, kepada ayah kandung almarhum Eky, Iptu Rudiana. Tujuannya, untuk membuktikan pernyataannya atas kasus pembunuhan Vina.

Apa itu sumpah pocong dan bolehkah dilakukan dalam ajaran Islam? Sumpah pocong adalah sebuah praktik yang masih ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Ritual ini sering digunakan sebagai bentuk pembuktian dalam konflik atas tuduhan tertentu.

Baca Juga

Ketua Pusat Dakwah dan Perbaikan Akhlak Bangsa MUI, KH Masyhuril Khamis, memberikan pandangannya mengenai pelaksanaan sumpah pocong. Masyhuril menjelaskan sumpah pocong sejatinya mirip dengan mubahalah dalam Islam, hanya saja ada tambahan penggunaan aksesoris seperti pocong.

“Mubahalah diartikan sebagai saling bersumpah dan melaknat untuk menunjukkan siapa yang benar siapa yang salah. Sumpah pocong sejatinya mirip dengan mubahalah dalam Islam, hanya saja ada tambahan penggunaan pakaian seperti pocong,” kata Masyhuril saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (6/8/2024).

Hukum sumpah pocong, kata Masyhuril, akan kembali pada motif dan tujuan penggunaan kain kafan dalam pengambilan sumpah. Jika penggunaan aksesoris kain kafan hanya untuk membuat suasana lebih mencekam, maka hukumnya tidak masalah.

“Namun jika meyakini ada tambahan kekuatan laknat jika menggunakan pakaian tersebut, maka hal itu bukan ajaran Islam. Sehingga motif dan tujuan penggunaan pakaian pocong ini menjadi penting untuk menentukan hukumnya,” ujar Masyhuril.

Dia menjelaskan Nabi Muhammad SAW pernah mencontohkan mubahalah yaitu sumpah yang dilakukan untuk menyelesaikan perkara. Menurut Masyhuril, Nabi Muhammad SAW melakukan mubahalah saat ada utusan dari Najran mempertanyakan status Isa Al-Masih. Mereka menganggap Isa adalah anak Tuhan karena tidak memiliki bapak, namun Nabi membantah dengan menyamakan Isa dengan Adam.

“Nabi Muhammad menyebutkan bahwa Adam malah tidak memiliki ayah dan ibu sehingga lebih pantas untuk dipuja jika faktornya adalah karena keanehan tidak memiliki bapak. Namun utusan Najran tidak terima dan malah menantang mubahalah. Saat itu Rasulullah sampai membawa putrinya Fatimah, Hasan dan Husain, serta Ali untuk ikut bermubahalah, namun utusan Najran itu tidak berani,” kata Masyhuril.

Masyhuril menyebut mubahalah juga dikisahkan oleh Allah SWT dalam Alquran surat Ali Imran ayat 56-61 yang artinya:

“Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah, seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. Kebenaran itu dari Tuhanmu, karena itu janganlah engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu”.

“Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad): Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, istri-istri kami dan istri-istri kalian, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita ber-mubāhalahagar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta” (Ali Imran 59-61).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement