Rabu 14 Aug 2024 14:47 WIB

Fenomena ‘Makan Tabungan’ dan Saldo Kian Menyusut, Apa Penyebabnya?

Fenomena ‘makan tabungan’ kian menjadi sorotan dalam dunia pengelolaan keuangan.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Petugas melayani nasabah di salah satu kantor Bank Danamon Syariah.
Foto: Republika/Prayogi
Petugas melayani nasabah di salah satu kantor Bank Danamon Syariah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Fenomena ‘makan tabungan’ kian menjadi sorotan dalam dunia pengelolaan keuangan. Praktisi melihat kondisi tersebut menjadi penyebab menyusutnya simpanan atau saldo rekening masyarakat.

Berdasarkan data distribusi simpanan bank umum dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Tahun 2024, sekitar 99 persen rekening di Indonesia, atau sebanyak 563 juta akun memiliki saldo di bawah Rp 100 juta.

Baca Juga

Pada mayoritas rekening tersebut, terdapat tren penurunan rata-rata saldo tabungan dalam beberapa tahun terakhir. Yakni dari rata-rata tabungan sebesar Rp 3 juta sebelum pandemi Covid-19 pada 2019 menjadi hanya Rp 1,8 juta per April 2024.

“Berkaca pada tren tersebut, masyarakat Indonesia kerapkali dihadapkan dengan fenomena ‘makan tabungan’, yaitu penggunaan tabungan untuk kebutuhan sehari-hari,” kata Consumer Funding & Wealth Business Head Bank Danamon Tbk Ivan Jaya dalam acara Journalist Class bertajuk ‘Wujudkan Kemerdekaan Finansial dengan Menabung’ di Menara Bank Danamon, Jakarta Selatan, Rabu (14/8/2024).

Ivan menjelaskan, ada beberapa faktor yang dapat menunjang fenomena ‘makan tabungan’, yakni mulai dari kenaikan suku bunga, kenaikan harga pangan, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat Covid-19 dan post-Covid.

“Dari beberapa faktor ini, bisa dibilang bahwa kenaikan inflasi tidak diimbangi oleh kenaikan upah,” tuturnya.

Berdasarkan perbandingan survei Bank Indonesia (BI) pada 2019 dan 2024, proporsi pengeluaran terhadap pendapatan mengalami peningkatan dari 68 persen menjadi 74 persen. Lalu proporsi simpanan terhadap pendapatan mengalami penurunan dari 20 persen menjadi 17 persen dan proporsi pembayaran cicilan terhadap pendapatan mengalami penurunan dari 12 persen menjadi 9 persen.

Anggota Komisi XI DPR Anis Byarwati menyebut data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru mengungkap terjadi deflasi pada tiga bulan berturut-turut. Anis mengatakan, deflasi bisa menjadi sinyal bahaya karena mengindikasikan melemahnya daya beli masyarakat.

"Hal ini tecermin juga pada penurunan pertumbuhan tahunan simpanan di bank dari 7,8 persen jadi hanya 4,1 persen utamanya tabungan dibawah Rp 100 juta," ujar Anis dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (13/8/2024).

Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan itu menilai turunnya daya beli masyarakat memengaruhi pendapatan negara seperti penurunan PPN dan turunnya setoran pajak industri perdagangan. Anis mengatakan penurunan daya beli bisa berimbas pada, turunnya juga laba industri, dan perusahaan.

"Jadi negara juga ikut dirugikan," ucap Anis.

Anis mengkhawatirkan bila daya beli masyarakat yang anjlog berkepanjangan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi terhambat sehingga kemiskinan akan semakin meningkat. Anis meminta pemerintah jangan lengah dan mewaspadai situasi saat ini.

"Jangan lengah dan menyangkal penurunan daya beli, angka PHK saja meningkat dan menurut data BPS jumlah pengangguran masih tercatat 7,2 juta jiwa," sambung Anis.

Wakil Ketua BAKN DPR RI ini kemudian menyebut Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia masih salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Anis menyebut angka PHK juga mengalami lonjakan di periode Januari-Juni 2024 mencapai 32.064 orang menurut data Kemnaker.

"Angka tersebut baik 21,4 persen dari periode yang sama tahun lalu, artinya kondisi perekonomian melemah," lanjut Anis.

Legislator perempuan PKS ini mengingatkan pemerintah agar terus berupaya menjaga daya beli masyarakat dengan instrumen fiskal, utamanya untuk masyarakat kelas menengah yang belum mendapat perlindungan sosial. Selain itu untuk meningkatkan daya beli terutama dengan investasi, utamanya investasi yang berkualitas dan di sektor padat karya, yang selama ini Indonesia belum mendapatkan banyak investasi yang berkualitas. Anis menyebut pada akhir periode pemerintahan Joko Widodo jumlah kelas menengah menurun sehingga berdampak pada turunnya daya beli masyarakat.

"Jika pemerintahan tidak berakhir khusnul khotimah, tentunya akan mewariskan beban fiskal yang kian berat, anjloknya daya beli memengaruhi rasio pajak atas PDB dan menyulitkan pemerintahan baru," kata Anis.

Ekonom Senior INDEF Didik J Rachbini mengatakan perkembangan deflasi yang terjadi beberapa waktu terakhir harus dicermati dengan baik. Didik mengatakan deflasi yang terjadi ini merupakan penurunan tingkat harga umum barang dan jasa, yang seolah-olah menguntungkan masyarakat luas.

"Harga tidak naik lalu kita secara individu yang mapan bersorak menikmatinya. Badan Pusat Statistik mencatat terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,28 pada Juni 2024 menjadi 106,09 pada Juli 2024," ujar Didik dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (2/8/2024).

Dalam beberapa waktu terakhir ini, lanjut Didik, ekonomi Indonesia Indonesia mengalami deflasi 0,18 persen pada Juli tahun ini dibanding dengan IHK bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Didik menyampaikan selama tiga bulan terakhir ini terjadi deflasi beruntun.

"Namun, deflasi ini secara umum merupakan gejala konsumen secara luas tidak bisa mengkonsumsi barang dengan wajar atgau setidaknya menunda konsumsinya," sambung Didik.

Didik mengatakan deflasi terlihat menguntungkan bagi konsumen karena harga yang lebih rendah, tetapi ini merupakan fenomena makro ekonomi dimana ekonomi masyarakat sedang tidak berdaya untuk membeli barang-barang kebutuhannya. Menurut Didik, deflasi yang terjadi sekarang dapat menimbulkan dampak negatif yang luas terhadap pada perekonomian jika kebijakan makro dan kebijakan sektor riil apa adanya seperti sekarang.

"Yang sudah jelas ada di hadapan mata adalah penurunan Pengeluaran konsumsi. Konsumen menunda pembelian untuk mengantisipasi harga yang lebih rendah lagi di masa depan karena keterbatasan pendapaatannya dan banyak yang menganggur," lanjut Didik.

Dalam aspek kesempatan kerja peluang pekerjaan, sambung Didik, masalah pengangguran lebih berat, yang tidak bisa diukur secara baik karena fenomena sektor informal sangat banyak. Didik menyampaikan bantuan sosial yang sangat besar sebagai jual beli suara politik tidak membanatui sama sekali memperbaiki keadaan, bahkan mendorong utang semakin besar sebagai beban ekonomi politik yang diwariskan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement