REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di antara alim ulama legendaris dari Ranah Minangkabau adalah Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Sosok yang kerap disebut sebagai Inyiak Canduang itu lahir pada 1871 di Candung (kini kecamatan di Agam, Sumatra Barat). Ayahnya, Angku Muhammad Rasul, merupakan seorang ahli agama Islam.
Ia hidup sezaman dengan beberapa mubaligh kenamaan. Sebut saja, Haji Abdul Latif Syakur, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdul Latif Pahambatan, Syekh Abbas Abdullah, dan Syekh Ibrahim Musa. Sesepuh Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari, pun seangkatan dengannya saat menimba ilmu di Tanah Suci.
Menurut sejarawan Nopriyasman (2018), guru-guru yang mengajarkan agama Islam kepada Sulaiman kecil antara lain Syekh Muhammad Arsyad (Batu Hampar), Tuanku Sami’ Ilmiah (Baso), Tuanku Kolok (Batusangkar), dan Syekh Abdussalam (Banuhampu).
Pada 1903, Sulaiman pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Kesempatan itu juga dimanfaatkannya untuk menuntut ilmu. Di antara guru-gurunya di sana adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Pada 1907, Syekh Sulaiman ar-Rasuli kembali ke Tanah Air. Dia pun mengamalkan ilmu-ilmu agama melalui surau.
Surau merupakan lembaga pendidikan tradisional di Sumatra Barat. Sistemnya menyerupai pesantren di Jawa.
Surau yang didirikan Syekh Sulaiman dinamakan sebagai Surau Baru. Sejak saat itu, dia kerap disapa “Inyiak Canduang”. Sebutan inyiak merupakan bentuk penghormatan, sebagaimana kiai haji dalam tradisi Jawa. Sementara, Canduang merujuk pada lokasi surau tempat sang syekh mengajar.
Nopriyasman menerangkan, Syekh Sulaiman berjasa dalam mereformasi sistem pendidikan di Sumatra Barat. Ia mengubah metode halaqah menjadi model jenjang kelas, yang biasa dijumpai pada sekolah-sekolah modern saat ini.
Pada 1917, dia dipercaya menjadi kepala kadi. Satu tahun kemudian, sang syekh bergabung dengan Sarekat Islam (SI) dan menjadi ketua cabang Baso, Agam.