Selasa 03 Sep 2024 06:22 WIB

Mengapa Kasus Pelarangan Jilbab Terus Berulang? Ini Dua Penyebabnya Menurut Ombudsman

Tidak ada sanksi bagi pihak yang melanggar atau melarang jilbab.

Rep: A Syalaby/Nashih Nasrullah/ Red: A.Syalaby Ichsan
Seorang pedagang menata jilbab dagangannya di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Sabtu (18/11/2023). Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) menyebut akan mengatur harga pokok penjualan (HPP) jilbab di pasaran untuk menjaga penjualan produk jilbab lokal yang hanya mencapai 25 persen dari 1,06 miliar jilbab pada tahun 2022.
Foto: ANTARA FOTO/RIFQI RAIHAN FIRDAUS
Seorang pedagang menata jilbab dagangannya di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Sabtu (18/11/2023). Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) menyebut akan mengatur harga pokok penjualan (HPP) jilbab di pasaran untuk menjaga penjualan produk jilbab lokal yang hanya mencapai 25 persen dari 1,06 miliar jilbab pada tahun 2022.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Berulangnya kasus pelarangan jilbab di Indonesia disayangkan Ombudsman RI. Usai terkuaknya pemaksaan pelepasan jilbab pada anggota Paskibraka yang diperintahkan oleh Badan Pembinaan Ideologi dan Pancasila (BPIP) menjelang 17 Agustus 2024 lalu, kini pelarangan jilbab juga dialami dokter di rumah sakit swasta. Sebelumnya, kasus serupa dialami pramugari dari beberapa maskapai penerbangan.

Anggota Ombudsman RI (ORI) Indraza Marzuki Rais mengungkapkan, setidaknya ada dua penyebab mengapa praktik tersebut kembali terulang. Pertama, ujar dia, literasi atas konsep toleransi masih kurang, bukan hanya di masyarakat tetapi juga di tataran elite. Dia mencontohkan, bagaimana Kepala BPIP yang bisa membuat aturan melepas jilbab bagi Paskibraka.“Di atas, konsepnya masih berantakan memahami toleransi,”ujar Indraza saat berbincang dengan Republika pada Senin (2/8/2024).

Baca Juga

Akar masalah berikutnya, ujar anggota ORI yang sebelumnya juga aktif di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut mengatakan, tidak ada sanksi bagi pihak yang melanggar. Setelah kasusnya selesai, ujar Indraza, maka pihak yang melarang jilbab tak dikenakan sanksi apapun meski sekadar sanksi sosial. “Budaya malu di Indonesia masih kurang, mentang-mentang berkuasa,”kata dia.

Tidak hanya itu, minimnya literasi, ujar dia, juga berdampak pada warga yang dirugikan akibat pelarangan jilbab sehingga tidak memperjuangkan haknya. Padahal, dia mengungkapkan, mereka bisa saja menggugat ke pengadilan.

Dia juga menegaskan, aturan yang sama juga harus dikenakan pada pihak-pihak yang mewajibkan jilbab padahal berada di ranah umum. Dia mencontohkan, kasus di Yogyakarta dan di Sumatra Barat dimana ada siswi yang dipaksa untuk mengenakan jilbab. Padahal, ujar dia, sekolah tersebut bukan merupakan sekolah agama. “Kalau sekolah Muhammadiyah kita bisa paham dan wajar jika diwajibkan berjilbab,”kata dia.

Terkait dengan kasus pelarangan jilbab di RS Medistra, Indraza mengaku sangat menyayangkannya. “Saya menyayangkan sekali dan berharap bahwa pelarangan ini tidak ada di negeri ini,”kata dia.

 

Kasus di RS Medistra..

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement