REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar 430 perusahaan global besar yang tergabung dalam inisiatif RE100, mendesak Indonesia untuk meningkatkan ambisi dalam energi baru dan terbarukan (EBT) dan membuka peluang investasi yang lebih besar dalam transisi energi. Direktur Eksekutif IES Fabby Tumiwa mengatakan kredibilitas perusahaan yang tergabung dalam RE100 ditentukan dari pencapaian mereka terhadap target penggunaan energi terbarukannya.
Menurutnya, jika Indonesia tidak dapat memenuhi kebutuhan energi terbarukan sesuai rencana ekspansi bisnis perusahan-perusahaan itu, kemungkinan besar mereka akan memilih negara lain yang menawarkan peluang lebih baik untuk pemanfaatan energi terbarukan.
“Saat ini, draf Kebijakan Energi Nasional (KEN) justru akan menurunkan target bauran energi terbarukan pada tahun 2025 dan 2030. Kalau ini terjadi maka menimbulkan kekhawatiran bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk mencapai target 100 persen energi terbarukan mereka pada 2050 atau lebih awal," kata Fabby dalam media briefing “Seruan Industri untuk Akselerasi Energi Terbarukan di Indonesia” pada Senin (9/9/2024),
Fabby mengatakan, polemik penetapan power wheeling dalam merampungkan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) juga masih terjadi. Padahal, skema power wheeling energi terbarukan dinilai dapat menjadi peluang bagi perusahaan RE100 untuk mendapatkan listrik hijau.
Tidak hanya itu, Fabby juga mengatakan RE100 mendorong pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kuota PLTS atap dan menyusun green tarif yang memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk berinvestasi secara langsung di pembangkit energi terbarukan.
“Ketersediaan energi terbarukan menjadi hal yang menentukan daya saing bagi negara-negara manufaktur seperti Indonesia, di mana rantai pasok anggota RE100, seperti Nike, beroperasi. Saat ini, pilihan untuk penggunaan energi terbarukan di Indonesia, bagi perusahaan tersebut masih terbatas, misalnya dengan penggunaan renewable energy certificate (REC)," katanya.
Namun, menurut Febby, perusahaan-perusahaan itu masih berharap ada pilihan lain yang memanfaatkan modal swasta melalui struktur kontrak dengan risiko rendah dan hemat biaya yang mendorong lebih banyak penggunaan energi terbarukan secara langsung, seperti mekanisme pembelian energi secara langsung (direct power purchase agreement). Hal ini sebagaimana yang sudah mulai diterapkan di negara Asia lainnya seperti Vietnam dan India.