Namun, pada gelombang September, dampak praktisnya turun 10 persen, dari 84 persen menjadi 74 persen. Sentimen boikot lebih kuat tertanam pada anak-anak dan kelas sosial-ekonomi atas.
Menurut Hafeez, jumlah orang yang secara berpartisipasi dalam aksi boikot produk dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara pro-Israel lainnya telah menurun. Penurunan itu dipengaruhi oleh berbagai alasan mulai dari kualitas rendah hingga pasokan yang tidak berkelanjutan, serta kurangnya upaya membangun merek oleh perusahaan lokal.
“Penurunan ini bukan karena sentimen yang melemah, melainkan karena perusahaan lokal gagal menyediakan produk berkualitas, selain harga yang tidak kompetitif, pasokan yang tidak berkelanjutan, dan kurangnya perhatian terhadap pembangunan merek,” ujarnya.
Hafeez menambahkan, sayangnya, merek-merek lokal hanya memanfaatkan kesempatan ini untuk meningkatkan keuntungan daripada membangun merek dan meningkatkan kualitas.
“Saya ingin memberikan contoh merek minuman ringan lokal yang berhasil merebut pangsa pasar yang signifikan akibat boikot merek internasional, tetapi mereka bahkan tidak menyediakan lemari pendingin mereka sendiri kepada penjual. Mereka justru bergantung pada lemari pendingin dari merek asing untuk menjual produk mereka,” katanya.
Hal ini memaksa banyak orang untuk kembali beralih ke merek asing, ujar Hafeez. Namun demikian, ia menambahkan, masih banyak pelanggan yang tetap berpegang pada kampanye boikot.