REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat berusia 16 tahun, Malcolm Little putus sekolah. Namun, tokoh yang kini dikenang luas sebagai pejuang kemanusiaan dan hak asasi manusia Malcolm X itu tak menyerah.
Baginya ketika itu, putus sekolah tak berarti putus belajar. Ia memulai petualangannya sebagai seorang otodidak, sembari mencari nafkah demi menghidupi diri sendiri dan saudara-saudaranya.
Ia bekerja serabutan. Saat itu, Malcolm tinggal menumpang di kediaman saudara tirinya, Ella Little-Collins di Roxbury, sebuah lingkungan Afro-Amerika yang kental se-Boston, Amerika Serikat (AS).
Sebelum matahari terbit, Malcolm sudah siap berangkat ke tempat kerja. Menjelang tengah malam, ia baru kembali pulang dengan sisa-sisa tenaga.
Karena tuntutan pekerjaan, Malcolm sempat hijrah ke Flint, Michigan. Barulah sejak 1943, ia menetap di Harlem, Kota New York--tepatnya di sekitaran jalur rel kereta api New Haven.
Di kota berjulukan Apel Besar itu, Malcolm mulai tenggelam dalam dunia kelam. Berbagai tindak kejahatan pernah dilakukannya. Ia juga mulai mengonsumsi narkoba, minum minuman keras, gemar berjudi, dan bahkan tak segan-segan merampok rumah warga.
Akan tetapi, sasaran kejahatannya selalu merupakan warga kulit putih. Tampak bahwa perasaan "dendam" terhadap kelompok-kelompok ekstrem pro-superioritas kulit putih membuatnya menggeneralisasi kebencian, yakni kepada seluruh orang kulit putih.