REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bait al-Hikmah yang dimiliki Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad menjadi tempat kerja para penerjemah brilian. Di antara mereka adalah Hunain bin Ishaq al-Ibad (809-873 M).
Orang-orang pada masanya menjuluki Hunain bin Ishaq sebagai “syekh para ahli terjemah." Bahkan, para sejarawan kerap menggelarinya “Bapak Penerjemah Arab". Pada puncak kariernya, tokoh yang beragama Kristen Nestorian ini sukses mengepalai Bait al-Hikmah.
Sekurang-kurangnya, ada empat bahasa yang dikuasainya dengan amat baik, yakni Arab, Suryani (Suriah Kuno/Syiriac), Yunani, dan Persia. Hunain bin Ishaq juga memperkenalkan metode penerjemahan yang terbilang revolusioner pada masanya.
Pada mulanya, Hunain bin Ishaq menekuni ilmu kedokteran. Bahkan, ia sampai melanglang buana ke banyak negeri, termasuk Syam dan Anatolia, untuk belajar.
Pada 826 M, Hunain kembali ke Baghdad. Di ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah tersebut, ia berjumpa lagi dengan (mantan) gurunya, Ibnu Masawaih.
Pemuda yang saat itu berusia 17 tahun tersebut menunjukkan kepada Ibnu Masawaih sejumlah manuskrip yang selama ini menjadi “teman” perjalanannya. Mayoritas isi catatan-catatan itu merupakan terjemahan yang dilakukan Hunain sendiri atas berbagai teks ilmu medis Yunani dan Latin.
Ibnu Masawaih terkejut saat membaca hasil kerja mantan muridnya ini. Dengan lugas, teks terjemahan itu dipujinya karena berkualitas amat baik. Bahkan, beberapa karya terjemahan Hunain sangat berguna bagi riset-riset yang sedang dilakukannya di Akademi Kedokteran Baghdad.
Sejak saat itu, nama Hunain bin Ishaq tersohor sebagai seorang penerjemah ulung. Banyak kaum intelektual Baghdad yang ingin menemuinya. Tidak sedikit dari mereka yang merasa sangat tertolong oleh kepiawaian anak muda ini dalam menerjemahkan teks-teks Yunani ke dalam bahasa Arab.
Popularitas Hunain lalu sampai ke telinga Jabril bin Bukhtishu. Sama seperti Ibnu Masawaih, orang Kristen ini merupakan ahli medis dengan reputasi besar di Baghdad. Alumnus Akademi Gundeshapur itu bahkan pernah menjadi dokter pribadi raja Abbasiyah, Harun al-Rasyid.
Setelah berdiskusi dengan Hunain, Jabril terkesima dengan kemampuan pemuda itu dalam mengalihbahasakan teks-teks Latin dan Yunani. Dengan takzim, ilmuwan yang dekat dengan kalangan istana Abbasiyah itu memanggilnya sebagai “guru kami".
View this post on Instagram
Suatu ketika, sekelompok dokter memprotes gelar "guru kami" untuk Hunain bin Ishaq. Bagi mereka, pujian Jabril sudah keterlaluan.
Namun, Jabril bersikukuh. Hunain memang brilian dalam menerjemahkan teks. Bahkan, kualitas terjemahannya lebih bagus daripada senior-senior mereka.
Penguasa Abbasiyah kala itu, Khalifah al-Ma’mun, tertarik mendatangkan remaja brilian ini. Setelah berbincang langsung dengannya, sang raja Abbasiyah merasa yakin akan kemampuan Hunain bin Ishaq.
Inilah teknik yang dipakai Hunain dalam menerjemahkan teks. Ia akan terlebih dahulu mamahami makna idiom-idiom yang mungkin ditemuinya. Selain itu, nuansa makna kata-kata, baik dalam bahasa asal maupun bahasa sasaran, juga dimengertinya secara mendalam.
Dengan begitu, proses alih-bahasa tidak sekadar “kata per kata". Yang dilakukannya ialah memahamkan pembaca agar mereka mengerti maksud dan informasi dari si penulis teks asli.
Emas untuk tiap lembar naskah