Kamis 02 Jan 2025 17:54 WIB

Waketum MUI: PPN 12 Persen untuk Kelas Atas Bantu Ekonomi Menengah ke Bawah

Pemerintah khususkan PPN 12 persen untuk barang mewah

Rep: Eva Rianti/ Red: Nashih Nashrullah
Wakil Ketua Umum MUI Kiai Marsudi Syuhud (kiri) mengapresiasi pembatalan PPN 12 persen.
Foto: Republika/Prayogi
Wakil Ketua Umum MUI Kiai Marsudi Syuhud (kiri) mengapresiasi pembatalan PPN 12 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua Umum MUI, KH Marsudi Syuhud, mengapresiasi pembatalan pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Kenaikan PPN hanya diberlakukan untuk barang-barang mewah.

Presiden RI Prabowo Subianto menyampaikan kepastian mengenai kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen akan diberlakukan per 1 Januari 2025. Dia memastikan kebijakan PPN 12 persen hanya diberlakukan bagi barang-barang mewah.

Baca Juga

“Hari ini pemerintah memutuskan kenaikan tarif PPN 11 persen jadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah,” kata Prabowo dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Selasa (31/12/2024).

Kiai Marsudi mengatakan kenaikan sebanyak 12 persen tersebut sudah diatur oleh Undang-undang negara.

“PPN 12 persen ini sesungguhnya dilakukan karena melaksanakan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan Perpajakan (UU HPP), kata Kiai Marsudi dikutip dari laman resmi MUI, Kamis (2/1/2024).

Kiai Marsudi juga menjelaskan bahwa kenaikan pajak tersebut hanya berlaku pada barang-barang tertentu yang biasanya dikonsumsi oleh masyarakat menegah ke atas.

“Saya cermati kenaikan ini hanya diperuntukkan untuk barang-barang luxury, barang-barang yang untuk masyarakat kelas menengah ke atas yang mampu beli. Yang mempunyai purchasing power, kekuatan membeli melebihi dari kelas menuju menengah ke bawah,” ungkapnya.

Selain itu, Kiai Marsudi juga menanggapi kondisi ekonomi masyarakat Indonesia saat ini. Menurutnya masyarakat Indonesia saat ini terbagi atas beberapa kelas.

“Kalau saya lihat, fakta kondisi masyarakat saat ini orang biasanya membagi masyarakat menjadi lima kelas, yang pertama adalah kelas atas, kedua kelas menengah, ke tiga kelas menuju menengah, keempat kelas kelompok yang sangat rentang, dan yang nomor lima adalah kelas bawah atau kelas miskin,” ujarnya.

Dia mengatakan bahwa berdasarkan kutipan yang diambil melalui tempo, yang dimaksud kelas atas adalah golongan paling atas dalam strata sosial masyarakat. Kelas atas dinilai dengan adanya pengeluaran biaya hidupdi atas Rp 6 juta per bulannya.

Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa kondisi hukum di setiap masyarakat merupakan hasil dari keadaan dan perkembangannya. Sama halnya dengan Undang-Undang kenaikan PPN 12 persen yang merupakan hasil dari keadaan dan perekmbangan masyarakat dan pemerintah hari ini.

“Dalam konteks ini, Undang-Undangnya sudah ada, dan dalam konteks ini pemerintah mengikuti Undang-Undang yang telah diputuskan melalui musyawarah,” tuturnya.

“Ketika sudah ada aturan Undang-Undang yang diputus dengan aturan musyawarah, maka kita ikuti. Karena kita berbangsa dan bernegara adalah untuk mengikuti aturan, kalau tidak mengikuti aturan maka kekacauan yang ada,” kata dia menjelaskan.

Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara resmi menyatakan kepada pemerintah untuk menunda kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen.

Pernyataan secara resmi itu tertuang dalam Tausiyah Kebangsaan tentang Pergantian Akhir Tahun 2024 Memasuki 2025 dengan Nomor: Kep-85/DP-MUI/XI/2024. Tausiyah tersebut ditandatangani oleh Ketua Umum MUI KH Anwar Iskandar dan Sekjen MUI Buya Amirsyah Tambunan pada 31 Desember 2024.

"MUI memberikan saran dan masukan agar pemerintah sebaiknya menunda kenaikan tarif PPN hingga situasi ekonomi stabil," kata MUI dalam Tausiyah Kebangsaan dikutip MUIDigital Rabu (1/1/2024).

MUI menilai, kenaikan ini berdampak pada daya beli masyarakat terutama kelompok menengah ke bawah. Sebagai pajak konsumsi, PPN dikenakan pada sebagian besar barang dan jasa sehingga, kenaikan tarifnya dapat meningkatkan harga-harga barang di pasaran.

"Hal ini berpotensi menekan daya beli masyarakat terutama dalam situasi ekonomi yang masih belum sepenuhnya pulih pascapandemi. Penurunan daya beli pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi karena konsumsi rumah tangga merupakan salah satu komponen utama dalam Produk Domestik Bruto (PDB)," sambungnya.

Dari sudut pandang ekonomi makro, MUI menilai kenaikan tarif PPN memang bertujuan untuk keningkatkan penerimaan negara. Namun, dalam kondisi saat ini, langkah tersebut perlu dipertimbangkan secara matang.

Sebab, penurunan konsumsi masyarakat dapat menimbulkan efek domino, seperti melemahnya kinerja sektor usaha dan menurunnya tintkat investasi.

"Sebagai alternatif, upaya peningkatan penerimaan negara dapat dilakukan melalui optimalisasi penerimaan dari sektor perpajakan lain, seperti penguatan sistem pajak digital dan perluasan basis pajak," ungkap MUI.

Menurut MUI, langkah ini lebih tepat sasaran tanpa membebani daya beli masyarakat yang saat ini sangat penting untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi.

BACA JUGA: Sektor Penerbangan Israel Terpukul Hebat Akibat Ulah Sendiri Genosida Gaza

Selanjutnya, kelas menengah ditandai dari jumlah pengeluaran Rp 1-6 juta per orang, per bulannya.

Disusul dengan kelas Menuju Menengah. Kelompok ini merupakan masyarakat yang memiliki pengeluaran biaya hidup antara Rp 500-1 juta masuk ke dalam golongan Menuju Kelas Menengah.

Lalu kelompok Rentan, yakni kelompok yang terdiri dari masyarakat yang berada di garis kemiskinan namun rentan untuk jadi miskin. Masyarakat yang masuk kelompok ini diklasifikasikan dari pengeluaran Rp354-532 ribu.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement